Sumber : Encyclopaedia Britannica Menyoal feminisme dewasa ini memiliki banyak perspektif yang bisa diuraikan, entah dari beberapa sudut pan...
Sumber : Encyclopaedia Britannica |
Menyoal feminisme dewasa ini memiliki banyak perspektif yang bisa diuraikan, entah dari beberapa sudut pandang yang ada. Hal ini bisa dibuktikan dengan banyaknya dialektika yang tersebar dalam media cetak ataupun online, mulai dari diskusi tentang ketimpangan sosial yang ada dimasyarakat hingga kekerasan yang masih banyak terjadi disekitar kita sendiri.
Tidak bisa dipungkiri bahwasanya dengan banyaknya media yang bisa diakses oleh semua kalangan guna menyampaikan dan mengetahui dinamika yang sedang terjadi. Menjadikan para kaum perempuan pada umumnya dan terkhusus para perempuan yang fokus dalam isu keperempuanan atau feminisme menjadi semakin dimudahkan dalam menyampaikan permasalahan yang dihadapinya.
Dalam beberapa peristiwa bahwa para kaum laki-laki, terkhusus perempuan menjadi terlihat seakan lemah dan tersisihkan disebabkan oleh beragam penyebab sekaligus, yang biasanya datang dari kesimpulan yang gegabah. Bila menelisik lebih dalam tentang wacana feminisme yang semakin besar dan lebih terbuka pada kalangan masyarakat menjadikan banyak contoh yang riil.
Baca Juga : Ibrahim dan Ejawantah Qurban Versi Soren Kierkegaard
Mari coba menilik hasil PEMILU tahun ini, bahwa hasil Pemilu DPR tahun 2024 memang meningkatkan atas hasil angka keterwakilan perempuan menjadi 22,1% atau 128 kursi dari 580 kursi DPR. Angka ini lebih tinggi 1,6% dibanding Pemilu 2019 dengan keterwakilan perempuan 20,5% (118/575). Namun sayangnya, menurut Didik Supriyanto salah satu anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI, bahwa hasil pemilu legislatif masih jauh dari model perwakilan deskriptif karena jumlah anggota parlemen perempuan tak sebanding dengan jumlah penduduk perempuan. Sejak Pemilu 1999, upaya ini telah dilakukan misalnya dalam UU Parpol, yakni UU 31/2002 Pasal 13 ayat (3) serta UU 2/2008 Pasal 2 ayat (2) dan ayat (5). Selain itu, ada pula dalam UU 12/2003, UU 10/2008, UU 8/2012, dan UU 7/2017.
Berdasarkan hasil yang ada memperlihatkan bahwa keterwakilan yang ingin digapai oleh pemerintah belum bisa terjawabkan. Fakta yang ada tidak bisa dielakkan adanya, namun hakikat sebenarnya penulis tidak bisa menyimpulkan bahwa tidak terpenuhinya keterwakilan Perempuan berdasarkan hasil pemilu merupakan hal yang disengaja ataupun tidak.
Hal ini sejalan dengan pemikiran Wollstonecraft yang kemudian sadar bahwa apa yang masih benar baginya adalah “pertempuran bukanlah pria melawan wanita tetapi kemajuan melawan status quo”. Dimana pembenaran akan lebih besar ditujukkan pada laki-laki. Dalam hal ini juga menunjukkan dimana perempuan sangat erat kaitannya dengan kepatuhan atas status social yang ada.
Baca Juga: Mahbub Djunaidi; Menyibak Fakta Kemasyhuran
Jika menilik makna feminisme sendiri merupakan suatu gerakan, atas kesadaran dan usaha untuk menghentikan diskriminasi terhadap perempuan. Gerakan tersebut berangkat dari asumsi bahwa kondisi perempuan saat ini termarjinalkan (pemiskinan ekonomi), tersubordinasi, mendapat pelabelan negatif (stereotype), mengalami kekerasan (violence), serta menanggung beban ganda (double burden). Berdasarkan sumber-sumber penyebab diskriminasi terhadap perempuan,
Berdasarkan pemikiran Feminisme Wollstonecraft, ia mendeskripsikan narasi yang paling komprehensif dibandingkan dengan para pegiat feminis di zamannya, yang dalam argumennya tentang ketidaksetaraan sosial selalu dipandu oleh konservatisme keyakinan dogmatis, karena pandangan mereka tentang posisi perempuan berasal dari pengertian tentang kepatuhan.
Jika terjadi sebuah perilaku yang dianggap (lelaki) kurang sesuai dengan nilai yang ada, pada umumnya sanksi yang diterima oleh perempuan akan cukup berat dan mempengaruhi pandangan masyarakat pada dirinya. Sampai sekarang belum ada konsensus mengenai apa yang dimaksud dengan kesetaraan antara lakilaki dan perempuan, karena konsep kesetaraan sangat rumit dan kontroversial. Istilah kesetaraan gender dalam tataran praktis hampir selalu berkonotasi terdapat “ketidaksetaraan” antara laki-laki dan perempuan.
Baca Juga: Memaknai Aswaja Sebagai Manhaj
Mary Wollstonecraft dalam tulisannya yang berjudul A Vindication of the Rights of Women pada tahun 1792, juga menyampaikan bahwa perempuan seharusnya memiliki akses yang sama seperti laki-laki pada kesempatan politik, ekonomi, sosial dan pendidikan. Dia juga menawarkan kepada wanita sebuah kekuatan emansipatoris dari alasan pencerahan, cara untuk membebaskan diri dari ketidaktahuan, atas apa yang mereka (laki-laki) sebut pendidikan palsu dan untuk menciptakan realitas politik dan sosial mereka sendiri.
Ditambah menurut Wollstonecraft bahwa sejak kecil para kaum perempuan mendapatkan pemahaman tata karma sebelum moral dan satu pengetahuan tentang kehidupan sebelum mereka (kaum perempuan) memiliki, dari perenungan, kenalan apapun dengan garis besar ideal yang agung tentang kodrat manusia. Konsekuensi yang didapatkan akan natural. Dipuaskan dengan kodrat umum, mereka (kaum perempuan) menjadi mangsa bagi prasangka-prasangka, dan percaya sepenuhnya pada seluruh pendapat yang ada, mereka (kaum perempaun) dipaksa tunduk secara semena-mena oleh otoritas yang ada.
Wollstonecraft menekankan agar persamaan perempuan dan laki-laki terwujud, tidak cukup diberikan pendidikan yang sama tetapi juga harus diberikan kesempatan untuk berperan dalam politik dan dijamin hak sipilnya yang meliputi hak untuk berorganisasi, kebebasan untuk berpendapat, hak untuk memilih serta dipilih dan hak milik pribadi serta hak-hak sipil lainnya. Terkadang kaum wanita tidak diperbolehkan memiliki kekuatan pikiran yang memadai untuk memperoleh apa yang benar-benar layak dimiliki semua manusia yaitu kebijaksanaan dan sebuah keberhasilan moral.
Baca Juga: Pengantar Pemikiran Tjokroaminoto; Bapak Para Pendiri Republik
Ketidakadilan gender melahirkan perlakuan-perlakuan yang tidak adil lainnya terhadap perempuan mulai dari terjadinya marginalisasi terhadap perempuan, perempuan ditempatkan pada posisi subordinasi, munculnya stereotipe yang timpang terhadap perempuan, munculnya pengabaian terhadap masalah-masalah perempuan dan suara-suara perempuan, dan terjadinya simbolik dan non-simbolik yang dialami oleh perempuan. Terlihat bahwa ketidakadilan gender terhadap perempuan bisa terjadi dalam berbagai bentuk. Wollstonecraft juga berpendapat dalam tulisannya bahwa;
“Kaum pria dan wanita harus dididik, dalam banyak hal, oleh pendapat dan sikap-sikap masyarakat tempat mereka tinggal”
Dengan demikian wanita secara alami tidak lebih rendah dari laki-laki, tetapi terlihat rendah karena mereka memiliki sedikit pemahaman Pendidikan, pengetahuan berpolitik dan kesadaran berkelompok. Sehingga Wollstonecraft mengemukakan ketidaksetujuannya terhadap pandangan publik yang mengatakan kondisi alami perempuan menyebabkan perempuan kurang memiliki intelektualitas dan kemampuan fisik yang setara dengan laki-laki. Atas keresahan Wollstonecraft kala itu dan realita yang terjadi hari ini semakin menunjukan bahwa ketidak setaraan dalam sebuah status social masih kentara. [Ahmad Khoirul Umam - Anggota Lembaga Riset dan Penelitian PC PMII KOTA SEMARANG]
COMMENTS