Dulu saya tidak pernah membayangkan akan mengidolakan seorang sosok lelaki Mahbub Djunaidi. Pasalnya sejak kecil dikenalkan dengan tokoh-tok...
Dulu saya tidak pernah membayangkan akan mengidolakan seorang sosok lelaki Mahbub Djunaidi. Pasalnya sejak kecil dikenalkan dengan tokoh-tokoh besar populer seperti Soekarno, Moh. Hatta, Jenderal Soedirman, Tuanku Imam Bonjol, Bung Tomo, dan lain-lain. Tidak ada nama Mahbub Djunaidi dalam deretan tokoh yang saya kenali waktu itu.
Bahkan pada usia remaja nama lelaki itu belum saya dengar, karena kurang pergaulan penulis atau memang tokoh satu ini tidak banyak dikenal orang. Siapa Dia? Layakkah disandingkan dengan “Sang Penyambung Lidah Rakyat” dan tokoh-tokoh besar lainnya di Negeri ini?
Setelah umur 20 tahun barulah saya mendengar nama itu bersamaan dengan macam-macam kisah heroik di masa peralihan kekuasaan orde lama menuju orde baru. Sewaktu duduk di bangku perkuliahan, namanya nyaring di telinga sebagai seorang tokoh besar arus bawah yang memiliki segudang talenta unik.
Dia (Mahbub Djunaidi) merupakan seorang aktivis Hak Asasi Manusia (HAM ) dan Demokrasi pada masanya. Ia kerapkali mengkritisi dan membela setiap hak asasi yang dikebiri. Pembelaannya yang paling diingat publik adalah saat Mahbub tak henti-hentinya membela Pramoedya Ananta Toer dari serangan brutal Orde Baru.
Surat Edaran (SE) Kemendikbud dengan Nomor 73106/Sekjen PDK/1980 tertanggal 27 September 1981 tentang pelarangan peredaran karya Pramoedya selama di Pulau Buru menjadi landasan serangan brutal Orde Baru kepada Pram. Sebagai penulis ia dituduh menyebarkan ideologi komunis lewat karya-karyanya.
Pada saat-saat genting seperti itulah Mahbub dengan konsisten membela hak asasi Pramoedya dengan segala upayanya. Hal itu dilakukan karena bagi Mahbub, bahasa yang ditulis oleh Pram secara tidak langsung berusaha mendidik kita sebagai bangsa.
Selain Pram, Mahbub Djunaidi juga menyelamatkan dan memulihkan kembali status wartawan Josoef Ishak yang dicap sebagai simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Hal itu ia lakukan saat masih menjabat sebagai ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Pembelaannya terhadap Pramoedya dan Josoef Ishak merupakan wujud perjuangannya sebagai aktivis HAM yang tidak rela membiarkan diskriminasi terhadap hak asasi manusia merajalela. Bahkan saat menjadi anggota DPR-GR/MPRS ia dengan gigih memperjuangkan UU Pokok Pers yang merupakan manifestasi dari keadilan hak asasi wartawan yang menjadi fokusnya kala itu.
Mahbub Djunaidi terpilih menjadi anggota DPR/MPR pada tahun 1960 lewat partai NU. Anggota DPR-GR/MPRS adalah satu-satunya jabatan politik struktural yang pernah ia duduki selama menjadi politisi. Ia merupakan tipikal politisi yang lebih suka berada di luar lingkaran kekuasaan membersamai masyarakat dalam rangka pendidikan politik.
Sebagai politisi, Mahbub termasuk orang yang teguh pada prinsip dan setia pada proses. Prinsip itu terwujud dalam perjuangannya merubah politik secara prosedural lewat pemilihan umum dan terbuka, penguatan civil society, dan penanaman pendidikan politik kepada masyarakat.
Pendidikan politik Mahbub Djunaidi tersalurkan lewat berbagai tulisannya yang bertebaran di media massa kala itu. Menulis merupakan senjata utama Mahbub dalam melancarkan idealisme politiknya. Kolom dan esainya hampir selalu berhasil menjadi second opinion atas narasi utama yang berkembang.
Kemampuan menulis yang dimiliki Mahbub Djunaidi terbilang langka. Bagaimana tidak, ia mampu menulis artikel dengan tema berat, satu sisi menulis sastra yang “memabukkan”. Tidak mengherankan jika kemudian ia dijuluki sebagai pendekar pena karena kepiawaiannya dalam menulis.
Karier menulis profesionalnya dimulai pada tahun 1958 lewat koran Duta Masyarakat. Selang 2 tahun kemudian ia dipercaya memimpin keredaksian koran Duta Masyarakat hingga tahun 1970. Sembari memimpin redaksi koran Duta Masyarakat, ia juga mengemban tugas sebagai nahkoda utama PWI.
Sederet pengalaman tersebut membuktikan bahwa kemampuan menulis Mahbub Djunaidi tak dapat diremehkan. Julukan “Si Burung Parkit di Kandang Macan” menambah kesan bahwa Mahbub Djunaidi merupakan salah satu penulis terbaik yang pernah dimiliki bangsa ini.
Selain penulis, hal lain yang tak bisa dihilangkan dari sosok Mahbub Djunaidi adalah aspek religiusitas. Walau kita tau bahwa penilaian objektif terhadap religiusitas bisa saja bias, namun perhatian, kiprah, dan khidmatnya terhadap Nahdlatul Ulama (NU) cukup mewakili pelabelannya sebagai tokoh agamawan Islam.
Sepak terjangnya dalam mengembangkan narasi keislaman lewat NU menjadikannya tokoh Islam yang cukup disegani masyarakat. Belum lagi kedekatannya dengan banyak Kiai NU seolah mengafirmasi bahwa Mahbub memang seorang “agamawan ulung”.
Talenta Mahbub yang terakhir ini memang cukup kontroversial. Ia yang tak menggeluti dunia keislaman secara komprehensif (baik dalam pendidikan formal maupun non formal) kemudian dipercaya sebagai Wakil Ketua Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU). Jika tak dilakukan oleh orang yang benar-benar lihai, hal demikian tentu mustahil dicapai.
Mahbub Djunaidi membuktikan pada kita semua (khususnya penulis sendiri) bahwa apapun dapat dicapai dengan perjuangan dan kontiunitas. Mahbub mengajarkan arti keikhlasan dalam berjuang dan kesetian pada proses.
Ia memang tak sepintar Moh. Hatta, ia juga tak seheroik Bung Karno. Namun ia mampu menjadi besar dengan jalannya sendiri. Ia mampu menjadi pendekar yang tak harus kondang, tapi bermanfaat bagi umat dan rakyat.
Agaknya terlalu berlebihan jika saya menyandingkan Mahbub Djunaidi dengan tokoh besar negeri ini sekaliber Bung Karno, Moh. Hatta, Bung Tomo, maupun Jenderal Soedirman. Bukan karena Mahbub tidak layak disandingkan, melainkan karena memang Mahbub tidak untuk disandingkan ataupun disejajarkan.
Biarlah Mahbub Djunaidi tetap menjadi Mahbub Djunaidi. Biarlah orang tidak tahu bahkan acuh terhadap sosok fenomenal satu ini. Biarlah Mahbub menyimpan kenangan dan hasrat perjuangannya sendiri. Biarlah Mahbub dikenal dengan caranya sendiri.
Sama seperti Soekarno yang lahir sekali, Mahbub Djunaidi pun demikian. Ia lahir sekali dan hanya akan menjadi pribadinya sendiri. Tidak akan pernah ada Mahbub kedua, ketiga, dan seterusnya. Jika toh ada yang menyerupainya di masa kini, baik dalam pemikiran maupun gerakan, Mahbub Djunaidi tetaplah Mahbub Djunaidi, sang Pendekar Pena yang tak akan lekang oleh zaman.
Mahbub Djunaidi telah meninggalkan kita 26 tahun yang lalu. Ia pergi dengan segenap harapan dan cita-cita. Ia pergi dengan secercah angan yang dititipkan pada generasi penerus bangsa. Ia pergi dengan meninggalkan pemikiran yang harus terus dirawat dan disesuaikan dengan zaman. Ia pergi dengan tenang sebagai manusia biasa yang luar biasa.
Selamat jalan Mahbub Djunaidi. Selamat jalan, Bung!
Oleh : Nanang Bagus Zuliadi
Editor : Zaidie
*Penulis merupakan kader PMII Komisariat UIN Walisongo Semarang. Konsen pada dunia literasi dan Ilmu Pengetahuan. Mengejawantahkan konsentrasi literasi dan dialog pengetahuan lewat klub literasi bernama “Rumpun Sabda Institute”. Menulis di rumpunsabda.blogspot.com dan beberapa portal online lainnya. Menjadi juru editor di Minerva Foundation. Dapat dihubungi via surel nanangbaguszuliadi@gmail.com
COMMENTS