Oleh: S. Fitriatul Maratul Ulya* “Bukankah yang mengerti perempuan adalah perempuan?. sebuah paribahasa yang cukup untuk kita jadika...
Oleh: S. Fitriatul Maratul Ulya*
“Bukankah yang mengerti perempuan adalah perempuan?.
sebuah paribahasa yang cukup untuk kita jadikan bahan koreksi diri. Sampai
dimana peran kita sebagai kader perempuan PMII untuk perempuan lainnya?“
Kebangkitan
Perempuan atau Nahdlatun Nisa’ adalah istilah yang kerap penulis temukan
dalam setiap diskursus keperempuanan di PMII. Terlepas dari perbincangan yang
sebenarnya secara pembahasan (menurut penulis) juga tidak betul betul amat.
Penulis meyakini bahwa perbincangan ringan di angkringan atau bahkan diskusi formal di forum-forum
kaderisasi PMII yang membahas tentang Kebangkitan Perempuan merupakan salah
satu ijtihad untuk belajar dan
semakin memperbaiki kualitas kader putri PMII.
Judul tulisan ini sengaja
dibuat sedikit mendramatisir dalam rangka merespon gejolak kader PMII selama
ini, lebih-lebih kepada kader putri. status KOPRI sebagai Badan Semi Otonom di
tubuh PMII dan sederet produk hukum KOPRI yang kadang lebih berat untuk
dipahami daripada memahami kader putri itu sendiri.
Namun,
penulis tidak akan membahas perihal status KOPRI secara detail kali ini. Sebab,
apa yang menarik dari produk hukum KOPRI selain kader KOPRI itu sendiri?.
Tentu, setidaknya ada kader KOPRI yang cukup menarik seperti penulis saat ini.
Menariknya adalah bahwa penulis tidak tumbuh dan besar dibawah kaderisasi KOPRI
namun mengemban amanah untuk membesarkan KOPRI. Dua hal ini berbeda namun
memiliki titik temu tujuan yang sama.
Kader dan Pengakuan Terhadap
KOPRI
Titik temu
dari “Tumbuh bukan dari kaderisasi KOPRI” dan “Berkewajiban Membesarkan KOPRI”
harus dilihat lebih dalam dan dimulai dari menjawab pertanyaan, siapa itu kader
KOPRI?. Suka atau tidak suka, kader KOPRI adalah mereka yang berjenis kelamin
perempuan dan masuk PMII terhitung sejak mengikuti jenjang kaderisasi MAPABA.
Mengapa kemudian harus ada wadah khusus untuk kader putri? Bukankah ini justru
membuat sekat perbedaan antara laki-laki dan perempuan maka hilanglah keadilan
dan kesetaraan?. Jawabannya “Tidak”. Pertanyaan ini penulis anggap alay dan berlebihan. Sebab, kekhawatiran
itu sama sekali tidak terbukti.
KOPRI dan Cita-cita Kaderisasi
Terlepas
dari sejarah panjang yang tertulis di modul kaderisasi, bagaimana dan sebab apa
KOPRI lahir, dibubarkan lalu dibentuk kembali. KOPRI lahir bukan untuk membuat
gerakan separatis melawan visi misi PMII apalagi menjadi rival. KOPRI lahir
sebagai wadah untuk mengakomodir, mengembangkan serta mentransformasikan
potensi kader putri sesuai bidangnya. Seperti yang kita ketahui, bahwa jantung
PMII ada pada Biro Kaderisasinya atau pengkaderannya.
KOPRI merupakan bilik kanan jantung
kaderisasi PMII yang fokus pada potensi kader perempuannya. Maka, dalam proses mengadernya,
KOPRI mengaharapkan agar seluruh kader putri ikut terlibat dalam setiap proses
di PMII, terlibat dalam setiap Biro/Lembaga/Departemen kepengurusan yang ada di
PMII tanpa meninggalkan gerakan kolektif dalam meningkatkan potensi,
kredibilitas serta progresifitas kader perempuan melalui KOPRI.
KOPRI hadir
sebagai tolok ukur perkembangan potensi kader perempuan. Artinya, semakin
progresif KOPRI maka jelaslah semakin berkualitas kadernya. Begitu juga
sebaliknya. Lalu, sejauh mana prestasi KOPRI sampai saat ini?.
Membicarakan
prestasi KOPRI tentu akan banyak pihak yang memandang remeh atau bisa dikatakan
bahwa KOPRI sampai saat ini belum memiliki aksi nyata dan produk serius dalam
mendistribusikan kader-kader putrinya. Semua itu terjadi bukan sebab semata-mata
status KOPRI di PMII melainkan kesadaran, pemahaman dan keseriusan kader-kader
putrinya untuk ‘pulang ke rumah’.
Pertama, kesadaran kader putri akan statusnya sebagai kader KOPRI
belum selesai sepenuhnya. Ini terjadi di seluruh KOPRI se Indonesia, mulai dari
level Rayon, Komisariat bahkan Cabang. Kedua,
pemahaman salah kaprah tentang hadirnya KOPRI sebagai tembok pemisah dalam berproses
di PMII. Ketiga, keseriusan dalam
membangun gerakan perempuan secara kolektif di PMII melemah.
Harus diakui
bahwa secara potensi kader putri cukup kompeten dan kompatible. Namun, siapa
yang mampu besar tanpa adanya organisasi? Bahwa perlu disadari oleh semua kader
putri, urgensi kekuatan secara kolektif harus dibangun. Jika kita sibuk
mengejar dan mengasah potensi diri tapi lupa mengabdi untuk organisasi, maka
kekuatan tadi hanya berlaku dikandang sendiri.
Kelemahan
kader perempuan adalah hal yang remeh dan klasik. Suka tidak suka, kenyataan
lemahnya tingkat kepercayaaan perempuan terhadap perempuan lainya nyata terjadi.
Jangankan memikirkan kemerdekaan bangsa, berdamai dengan kaumnya sendiri saja
tidak mau. Lalu, upaya apa yang selama ini sedang diperjuangkan?.
Seperti yang
penulis jabarkan di atas, bahwa dalam proses kaderisasinya, kader putri harus berdiaspora di
seluruh Biro-biro/Lembaga/Departemen yang ada dalam struktur kepengurusan PMII,
bukan semata-mata masuk dalam kepengurusan KOPRI. Sebab, menyebarnya kader
perempuan dalam setiap bidang diskursus yang berbeda adalah bagian dari
mengembangkan potensi, pengetahuan dan wawasan kader perempuan. Sebagai
perempuan, mempelajari banyak hal, terlibat dalam setiap kebijakan adalah visi diri. Berprestasi sebagai kader KOPRI
adalah visi Organisasi. Maka, mengapa hanya hobi ngopi dengan para
laki-laki jika Ngopri juga bagian dari perjuangan organisasi?.
*Penulis adalah Sekretaris
KOPRI PC PMII Kota Semarang dan Kader PMII Rayon Ushuluddin Komisariat UIN
Walisongo Semarang
COMMENTS