Biar tidak hanya menggunakan pisau analisis agama terus menerus, sehingga yang diketahui tentang permasalahan bangsa Indonesia hanya masal...
Biar tidak
hanya menggunakan pisau analisis agama terus menerus, sehingga yang diketahui
tentang permasalahan bangsa Indonesia hanya masalah seputar radikalisme, mari
kita berkenalan dengan John Perkins. Pada tahun 2005, John Perkins menulis
sebuah buku yang berjudul "Sebuah Pengakuan Seorang Economic Hit
Man". Harapan penulis, perkenalan ini juga bisa dijadikan sebagai
alternatif pisau analisis masalah terorisme, karena teroriseme tidaklah sebuah
masalah yang terlepas dari permasalahan ketimpangan sosial.
Perkins menuliskan
tugas pokok dari seorang Economic Hit Man yang ia dapat dari rekan
seprofesinya, Claudine. Menurutnya, tugas utama Economic Hit Man adalah
mendorong para petinggi negara di dunia agar mau terlibat dalam jaringan luas
yang mengutamakan kepentingan komersial Amerika serikat. Pada akhirnya, negara
yang tergabung akan terlilit hutang dan dengan begitu, memastikan mereka
semakin bertambah daya loyalitasnya kepada Amerika. Jika sudah begitu mereka
akan mudah memanfaatkan para pemimpin negara tadi agar mau melakukan apapun dan
kapanpun dan demi kepentingan Amerika.
Lantas apa
keuntungan elite negara yang terjerat? Para elite-nya akan meningkat daya dan
posisi politisnya karena menciptakan kawasan industri, bandara, pembangkit
listrik, jalan tol dan berbagai mega proyek kepada rakyatnya. Padahal belum
tentu mega proyek itu dibutuhkan oleh rakyatnya. Lihat kasus Semen Kendeng, Bandara
Kulon Progo dan jalan-jalan tol atau pembangkit listrik yang bermasalah. Ini
masih belum termasuk proyek reklamasi. Elite negara yang mampu mewujudkan mega
proyek tersebut akan dinarasikan sebagai super hero agar bisa berkuasa terus
menerus dengan menggilir kesempatan antar elite-nya.
Economic Hit
Man adalah sekelompok elite yang memanfaatkan organisasi keuangan internasional
untuk menimbulkan kondisi yang menjadikan bangsa-bangsa lain tunduk pada
"corporatocracy" yang menjalankan korporasi demi penguasaan global.
Usaha tersebut dilakukan dalam bentuk pinjaman untuk mengembangkan proyek
infrastruktur- pembangkit tenaga listrik, jalan raya, jalantol, pelabuhan,
bandar udara, atau kawasan industri. Sebuah pinjaman semacam itu mensyaratkan
agar perusahaan rekayasa dan konstruksi dari Amerika lah yang mesti membangun
semua proyek itu. Sebenarnya sebagian besar uang pinjaman tadi tidak pernah
meninggalkan Amerika Serikat, uang itu hanya ditransfer dari kantor perbankan
di Washington ke kantor bagian perusahaan rekayasa di New York, Houston, atau
San Francisco. Begitu kata Perkins di awal bukunya, tentu hal semacam ini
sekarang sudah mengalami banyak perkembangan metode tanpa mengurangi
subtansinya.
Meskipun
faktanya uang pinjaman untuk pembiayaan proyek itu dikembalikan hampir dengan
seketika kepada korporasi yang merupakan anggota corporatocracy
(kekuasaan global, korporasi, bank, dan pemerintah) atau biasa kita sebut sebagai
kreditor, negara penerima bantuan diharuskan untuk membayar semuanya kembali,
yaitu pokok pinjaman beserta bunganya. Jika seorang Economic Hit Man berhasil
sepenuhnya, pinjaman itu sedemikian besarnya sehingga negara penerima pinjaman
terpaksa mengalami gagal bayar sesudah beberapa tahun. Ketika ini terjadi, maka
seperti mafia, Economic Hit Man menuntut pembayaran negara penerima hutang
secara penuh.
Sialnya,
Oktober 2018 Indonesia akan menjadi tuan rumah pertemuan Internasional MonetaryFound (IMF) dan World Bank, dua lembaga yang menjadi rumah kedua bagi para
Economic Hit Man tadi. Sampai di sini, saya cukupkan perkenalannya dengan John
Perkins ini, si Economic Hit Man. Selanjutnya masing-masing dari kita, khususnya
bagi kader PMII, seharusnya mengambil inisiatif sikap, harus melakukan apa
selanjutnya dalam menyusun strategi gerakan? Semoga perkenalan singkat ini
membuat sahabat-sahabati penasaran dan mencari tahu sendiri lebih banyak
tentang para Economic Hit Man. Salam Pergerakan!
Departemen
Pendidikan dan Pengkaderan PMII Kota Semarang 2016-2017
COMMENTS