Kyai-Santri merupakan salah satu entitas penting dalam sejarah NKRI dari masa ke masa. Entitas ini tidak pernah sekalipun mempertentang...
Kyai-Santri merupakan salah satu entitas penting dalam sejarah NKRI dari masa ke masa. Entitas ini tidak pernah sekalipun mempertentangkan agama dan nasionalisme, malah memadukan keduanya menjadi satu-kesatuan. Bagi entitas ini, hubbulwathon minal iman, cinta tanah air sebagian dari iman. Sekalipun, entitas ini tidak pernah melakukan pemberontakan terhadap negara, meski pada masa lalu pernah disia-siakan – bahkanakan dihancurkan –sedemikian rupa oleh pemerintah karena tidak mau menurut.
Ketika
K. H. Hasyim Asy’ari, kyai besar bergelar Hadratus
Syaikh yang begitu dihormati menyerukan Resolusi Jihad untuk menghadapi tentara
sekutu yang dibonceng NICA dan ingin kembali menguasai Indonesia, entitas ini berbondong-bondong
menyambutnya, membentuk laskar-laskar dengan senjata seadanya dipimpin para
kyai, menghadapi tentara sekutu-NICA yang memiliki persenjataan lengkap. Kita
mengenal jejak pertempuran tersebut dengan nama Hari Pahlawan, diperingati setiap
tanggal 10 November.
Kesetiaan
entitas ini terhadap bangsa dan negara, sama sekali tidak bisa diragukan.
Ketika terjadi pemberontakan DI/TII yang bermaksud mendirikan negara Islam
dengan menggunakan dalil-dalil keagamaan, entitas ini menentangnya. Bahkan juga
mendirikan KPK (Kyai-Kyai Pembantu Keamanan) untuk meredam pemberontakan
DI/TII. Mereka menjadi target utama DI/TII, beberapa dari mereka bahkan meregang
nyawa di ujung senjata tentara DI/TII.
K. H.
Idham Chalid, salah satu pimpinan para kyai saat itu berkata ,bahwa tugasnya
yang paling berat adalah menghadapi gerombolan yang membawa dalil-dalil agama
Islam, yaitu Darul Islam Kartosuwiryo di Jawa Barat, Ibnu Hadjar di Kalimantan
Selatan, Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan, dan Tengku Daud Beureueh di Aceh (Baca: KPK Melawan DI/TII).
Kesetiaan entitas ini hanya diberikan pada bangsa dan negara, bukan kepada
individu pemimpin, dalam artian tidak selalu menyetujui kebijakan pemimpin hanya
untuk menyenangkannya. Jika kebijakan pemimpin dianggap mengancam kehidupan berbangsa
dan bernegara, kebijakan itu pasti “dilawan”. Sebagai contoh, ketika Presiden Soekarno
ingin membubarkan HMI karena memiliki hubungan dengan Masyumi yang
terlibat PRRI/Permesta, K.H. Syaifuddin Zuhri
selaku menteri agama saat itu menolaknya.
Bagi beliau, HMI adalah aset masa depan bangsa, anak-anak muda dari berbagai
fakultas; calon ekonom, calon insinyur, calon dokter, calon ahli hukum dan lain
sebagainya. Akan jauh lebih baik jika gerakan mereka disalurkan, dikanalisasi untuk
kepentingan bangsa dari pada dibubarkan dan akan membuat mereka frustasi (K. H.
Syaifuddin Zuhri dalam Berangkat Dari
Pesantren). Padahal, jika saat itu beliau tidak menentang keinginan Soekarno,
maka PMII (organisasi santri di tingkat kemahasiswaan) yang baru saja berdiri,
akan lebih mudah berkembang dan menjadi besar. Hal ini juga membuktikan, bagi entitas
ini, kepentingan kelompok tak akan bisa mengalahkan kepentingan bangsa.
Entitas ini pula – dari kelompok Islam – yang pertama-tama menerima pancasila
sebagai asas tunggal pada 1983 setelah melalui proses mediasi oleh K. H. As’ad Syamsul
Arifin. Jauh sebelumnya, pada sidang
PPKI 18 Agustus 1945, terjadi perdebatan tentang tujuh kata dalam Piagam
Jakarta – yang sudah disetujui sebelumnya – untuk menentukan konstitusi negara karena
mendapat protes dari warga negara bagian timur.
K. H. Wahid Hasyim, salah satu perwakilan entitas ini dalam PPKI, berhasil
meyakinkan pimpinan kelopok islam lain untuk mereformulasikan semangat keberagamaan
dalam dasar negara. Hasilnya, kita mengenalnya sebagai sila pertama yang berbunyi
“Ketuhanan Yang Mahaesa”, sebagai ganti
dari kalimat “Kewajiban menjalankan syari’at
Islam bagi-pemeluknya”.
Tindakan ini dilakukan dengan penuh kesadaran bahwa Indonesia yang masih
begitu muda, membutuhkan persatuan dan kesatuan seluruh anak bangsa dari ujung barat
hingga ujung timur untuk mempertahankan kemerdekaannya. Fakta demografis bahwa
Indonesia mayoritas muslim, memang benar adanya. Tapi fakta geografis tidaklah demikian,
Indonesia bukan hanya barat – Muslim mayoritas -, tapi juga ada timur –Muslim
minoritas-. Sehingga memaksakan kehendak untuk memasukkan tujuh kata Piagam
Jakarta berarti pula ancaman terhadap persatuan dan kesatuan bangsa.
Konsep ketuhanan yang sedemikian rupa, berarti setiap umat beragama memiliki
hak untuk menyembah Tuhan sesuai dengan ajaran masing-masing agama, bukan memaksakan
Tuhan yang satu sebagaimana ajaran umat Islam untuk dijadikan sebagai konstitusi;
Ketuhanan Yang Mahaesa, bukan Ketuhanan Yang Mahaeka, God as it is bukan God the
one and only. Atas konsep tersebut, kita bisa memahami bahwa Indonesia
bukanlah negala sekuler dan bukan pula negara Islam, melainkan negara yang
mengembangkan kehidupan beragama dan keagamaan (Einar Martahan Sitompul: 2010).
Kesetiaan entitas ini terhadap bangsa dan negara, kembali diuji tatkala cucu
Hadratus Syaikh, juga seorang kyai
yang menjadi panutan mereka, K. H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dilengserkan dari
kursi presiden lewat fitnah-fitnah murahan- yang tak pernah terbukti kebenarannya-,
disusul dengan berbagai demonstrasi dari saudara seiman menuntut pelengserannya
dan diakhiri dengan sidang istimewa MPR yang melengserkannya. Entitas ini sempat
akan melawan, bahkan telah berdatangan ke Jakarta, menyebut diri sebagai pasukan
berani mati untuk membela kehormatan presiden, ketika tiba-tiba presiden keluar
dari Istana dengan mengenakan kolor sembari
melambaikan tangan untuk menenangkan pengikutnya. Sehingga tidak ada pertumpahan
darah setetes pun mengiringi pelengserannya.
Tentang
ini, Prof. Mahfud MD pernah berkisah, tiga minggu sebelum dilengserkan melalui sidang
istimewa, ada perwakilan dari beberapa ormas Islam menemuninya dan siap menghimpun
jutaan umat Islam untuk membela Gus Dur dan mengepung senayan. Syaratnya, Gus
Dur harus mengganti pancasila dengan syariat Islam. Ketika disampaikan pada Gus
Dur, beliau menjawab, “Lebih baik saya tidak jadi pesiden dari pada harus mengganti
pancasila”. (Baca: Ketika Gus Dur Harus Lengser). Betapa pancasilaisnya entitas ini, lebih baik mengorbankan jabatan dari pada mengorbankan
kesatuan berbangsa dan bernegara.
Kini,
di era kemudahan informasi dan komunikasi, entitas ini menjadi objek bully-an sebagian netizen karena komitmen
kebangsaan yang diemban. Dianggap tidak memiliki ukhuwah Islamiyah karena mendukung pembubaran HTI, dianggap lebih bertoleransi
kepada non-muslim dengan menjaga rumah ibadah umat agama lain, namun suka membubarkan
dakwah kelompok muslim lain. Padahal kita sama-sama tahu, bahwa HTI bukanlah ormas,
melainkan partai, keberadaannya juga telah dilarang di berbagai negara yang
menggunakan syari’at Islam, Arab Saudi salah satunya. Kita juga sama-sama tahu bahwa
rumah ibadah umat agama lain dijaga karena adanya ancaman terorisme yang bisa mengganggu
keharmonisan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pun, kita juga sama-sama tahu,
dakwah yang dibubarkan adalah dakwah yang bisa memecah belah persatuan umat dengan
membid’ahkan dan mengkafirkan kelompok lain, dan kadang juga men-taghut-kan pancasila.
Untuk
entitas ini, terimalah sedikit penghormatanku, “SelamatHariSantri! Selamat Merefleksikan
Semangat Kebangsaan! Santri Mandiri, NKRI Hebat!”.
Wakil
Ketua II PC PMII Kota Semarang
COMMENTS