Jika kau tidak pernah mencuri, jauh dari tindakan korupsi dan perkataanmu selalu jujur, bolehlah kau mendaku sebagai pribadi yang juj...
Jika kau tidak pernah mencuri, jauh dari tindakan korupsi dan perkataanmu selalu jujur, bolehlah kau mendaku sebagai pribadi yang jujur. Jika kau rela menderita dengan tidak memanfaatkan uang organisasi demi kepentingan pribadimu, atau sekurang-kurangnya tidak menggunakan kesempatan berorganisasimu hanya demi memperkaya dirimu sendiri, bolehlah kau berbangga karena menjadi pribadi yang jujur, meski yang demikian itu memanglah berat. Jika ada pemimpin yang secara pasti Anda ketahui kepribadiannya seperti itu, kau juga bisa melabelinya sebagai pemimpin yang jujur. Jika ada beberapa orang yang memenuhi kriteria seperti itu, apalagi seorang pemimpin, maka tenanglah hati kita saat mendiskusikan tema-tema keadilan dan pemberantasan korupsi.
Lantas
apakah cukup jika kita sebatas jujur? Jawabannya bisa “iya” bisa juga “tidak”.
Dijawab “iya”, karena memang negara kita terjangkit penyakit bernama korupsi
yang disebabkan virus keserakahan yang sudah begitu akut. Menurut Transparency
International Indonesia (TII) Indeks Persepsi Indonesia berada di peringkat
90 dari 176 negara yang diawasi. Indonesia mendulang angka 37 dari nilai maksimal
100, Indonesia berada di bawah Malaysia (49), Brunei (58) dan Singapura (85).
Dalam seting sosial seperti ini tentu menjadi jujur tidak sekadar
cukup, tetapi penting dan mendesak.
Tetapi
ada satu hal yang jarang kita sadari (Anda
bisa protes dalam penggunaan kata “kita” jika Anda tidak nyaman) tentang
fenomena kejujuran. Kita jarang mengingat tentang “panggilan kejujuran”, yaitu
sebuah panggilan kodrati bahwa kita harus berperilaku jujur dan mewujudkan
kejujuran dimanapun kita berada dan dalam posisi apapun (QS. At-Taubah: 119, QS. An-Nahl:
105, QS. Al-Ahzab: 70,
dll). Jika kita sudah jujur tetapi kita tidak menghentikan atau mencegah
orang-orang yang di sekitar kita untuk tidak berbuat jujur, maka kita belum memenuhi
panggilan kejujuran. Jika kita jujur tetapi pura-pura tidak tahu terhadap
orang-orang yang berperilaku tidak
jujur di depan mata kita, maka kita mengabaikan panggilan kejujuran.
Masyarakat
yang akut korupsi bisa meningkatkan pemberantasan korupsinya dengan memulai
penggeseran orientasi perilakunya. Jika
slogan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) “berani jujur itu hebat”, bagi penulis
hal itu adalah solusi atomik. Berani jujur memang hebat, tetapi memenuhi
panggilan kejujuran jauh lebih hebat lagi. Orang yang mendaku jujur tetapi
mengabaikan panggilan kejujuran adalah orang munafik, orang yang ingin masuk
surga tanpa berkeringat. Jika Anda seorang pemimpin, pastikan anggota Anda
untuk tidak menggunakan sumber daya lembaga Anda untuk kepentingan pribadi
mereka, dengan begitu, artinya Anda menjadi pemimpin yang berkomitmen ingin
masuk surga dengan jerih keringat Anda sendiri.
Sementara
panggilan kejujuran ini sebenarnya bukanlah barang asing untuk kader Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Karena kejujuran adalah salah satu dari tiga
entitas yang sering dikenal sebagai “Tri Komitmen” PMII. Sebuah janji yang
dibangun dari keteguhan hati untuk membangun gerakan baik individu ataupun
secara kolektif keorganisasian untuk mewujudkan perubahan sosial. Kejujuran,
Keadilan dan Kebenaran adalah tiga hal yang saling bertaut, tiga dalam satu
(integritas karakter PMII). Jadi, jika Anda adalah kader PMII, terlebih sebagai
pemimpin di berbagai tingkatan, lakukanlah sumbangsih pembangunan nasional
dengan melakukan perubahan sosial di tubuh PMII dengan memenuhi “panggilan
kejujuran”. Jadi, jujur saja bukankah tidak cukup?
Ahmad Muqsith (Departemen Pengkaderan PC PMII Kota
Semarang).
COMMENTS