Apa yang sebenarnya terjadi sehingga KH. Mustofa Bisri dan KH. Maimun Zubair mendapat celaan beberapa waktu lalu? Bukan masalah siapa yan...
Apa yang
sebenarnya terjadi sehingga KH. Mustofa Bisri dan KH. Maimun Zubair mendapat
celaan beberapa waktu lalu? Bukan masalah siapa yang melecehkan, tetapi mengapa
dan bagaimana itu bisa terjadi? Fenomena tersebut tentu tidak terlepas dari
pengaruh sosial politik bangsa kita akhir-akhir ini, terutama efek aksi “Bela
Islam”. Beberapa kelompok politik berlomba melakukan pembentukan opini publik
di ruang publik, baik yang pro ataupun kontra aksi. Pembentukan itu dilakukan
dengan cara melakukan propaganda. Siapa yang lebih mahir melakukan propaganda
akan memenangkan keinginan politisnya.
Propaganda
merupakan teknik membujuk dan mengarahkan khayalan. Istilah
"propaganda" berasal dari Pope Gregory XV yang membuat Congregation of Propaganda tahun 1622,
untuk memenangkan kembali Katolik yang telah direbut kaum Protestan selama
Reformasi. Kata ini lantas lantas mendapatkan konotasi negatif saat propaganda
digunakan Hitler di Perang Dunia II (Day Milovich). Propaganda adalah jalan
menuju ide yang disetujui dengan cara ditawarkan di ruang sosial terbuka. Kemenangan
politis mensyaratkan kepastian propaganda mampu disebarkan sedalam dan seluas
mungkin. Propaganda haruslah benar-benar tertanam dalam setiap khayalan
masyarakat yang menjadi sasarannya. Kedalaman ini harus sampai pada titik dimana
masyarakat tersebut tidak mempercayai kebenaran selain dari ide yang ditawarkan
dalam propaganda.
Menanamkan ide dalam setiap propaganda adalah kunci
sukses terpenuhinya keinginan politis. Misal suatu kelompok politik (tidak
harus selalu Partai Politik), menginginkan semakin bertambahnya jumlah peserta yang ikut aksi “Bela Islam” ataupun
yang ingin mengurangi jumlah pesertanya. Maka ide tersebut haruslah disampaikan
secara kuat lewat ruang publik, dan harus mengikuti budaya populer yang sedang
berkembang. Hal ini untuk menjamin daya jangkau, kedalaman bahkan daya “catchy”-nya.
Kenapa demikian? Tentunya karena keinginan akan suatu pristiwa
bisa terjadi atau malah suatu pristiwa akan segera berakhir. Propaganda politis
di Indonesia sekarang mensyaratkan dua hal. Pertama harus lewat jejaring sosial
(sosmed) dan kedua harus menggunakan “meme”!
Dua Syarat
Propaganda
Menurut
Reynold d’Silva, Buisness Group Head Facebook, dari 88,1 juta pengguna
internet aktif di Indonesia, 82 juta diantaranya sebagai pengguna Facebook
aktif bulanan, dan 43 juta pengguna aktif harian. Sementara 688 lokasi baru di
Indonesia menurut Kemenkominfo telah disediaakan jaringan
internet. Data ini menunjukan bahwa jejaring sosial (Facebook) tentu
menjanjikan aspek keluasan dari propaganda yang harus disebar. Sementara
Amerika sebagai negara pengguna Facebook terbesar di dunia (Indonesia nomor empat) pemilihan presidennya juga
terpengaruh dampak adanya Facebook. Bagi penulis hal ini membuktikan bahwa
propaganda yang ingin tersebar secara luas lebih efisien bertempat pada
Facebook.
Selanjutnya, meme. Secara garis besar, meme adalah unit teoritis atau unit terkecil dari suatu konsep dari alam ide, simbol, atau praktik, yang mampu bermigrasi ke dalam pikiran melalui berbagai bentuk visual, yang pada umumnya menggunakan bentuk foto yang diberi keterangan. Tuntutan dari intensitas aktivitas yang padat akan membuat orang lebih mudah memahami ide gagasan dari sebuah meme (gambar) dibanding artikel. Daya kreatif meme juga membuat ide mudah terpahami dan lebih tahan lama. Apalagi jika dipadu dengan pengetahuan kombinasi warna. Meme sudah menjadi bagian dari gerakan sosial di Indonesia, lihat saja fenomena kasus “papa minta saham”.
Bijaklah Membuat Meme
Menyadari hal tersebut, sekarang kelompok-kelompok politik mulai gencar melakukan propaganda lewat Facebook menggunakan meme. Dalam konteks perang ide untuk meluluskan keinginannya maka apapun dilakukan. Sayangnya keringnya spritualitas sebagian kelompok politik sudah melampaui batas. Mereka menggunakan meme tokoh ulama—yang seringnya asal comot tanpa izin—demi melegitimasi “ide” politisnya. Akhirnya banyak meme yang susah diverifikasi kebenarannya. Terlebih saat salah kontekstualisasi dari perkataan-perkataan tokoh ulama yang dijadikan keterangan dalam meme.
Beberapa tokoh ulama yang tidak terlibat langsung dalam aksi “Bela Islam” terpaksa terseret. Hal itu membuat beberapa orang kecewa terhadap ulama yang selama ini dipersepsikan suci dari politik praktis yang sudah terlanjur terkena stereotip busuk. Jika nanti ada aksi “Bela Islam” lanjutan, penulis hanya menyarankan agar menghindari pembuatan meme yang menggunakan poto tokoh ulama. Hal ini tentu untuk menjaga muru’ah para ulama di mata umat, baik ulama yang pro maupun kontra aksi tersebut. Meskipun hal itu sulit dihindari mengingat efisiensi dari propaganda menggunakan meme. Semoga suasana politik ini tetap membuat berbagai kelompok politik berusaha memenuhi keinginan politisnya dengan cara yanng bermartabat, sehingga kasus pelecehan tokoh ulama tidak terulang. Jika terulang, bukankah hal itu akan merugikan kelompok pro dan kontra aksi “Bela Islam”? lebih luas, bukankah seluruh umat Islam yang akan merugi karena terkoyaknya muru’ah ulama?
PS: Tulisan ini pernah dimuat di Koran Wawasan
Ahmad Muqsith (Pengurus PMII
Kota Semarang dan Peneliti Senior di LPM IDEA)
COMMENTS