Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses agar peserta didik secara aktif mampu mengembangkan potensi diri.
Repro: |
Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
agar peserta didik secara aktif mampu mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual, pengembangan diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterapilan yang diperlukan dirinya, masyarakatnya, dan bangsanya.
Lebih jauh lagi dinyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta perdaban bangsa yang bermartabat, dalam rangka
mencerdaskan kehidupan berbangsa.[1]
Melihat
pada pengertian dan fungsi pendidikan sebagaimana tertuang pada UU No.
20 Tahun
2003 yang kemudian teramifetasi dalam
realitas pendidikan Indonesia, kita akan menemukan bahwa sistem pendidikan kita
hanya berada pada tingkat kognitif paling dasar, yaitu sekadar
menulis, membaca, menghitung, menghafal dan sejenisnya.
Atau
kalau mau berbicara lebih ekstrem, pendidikan kita hari ini telah dipersempit
menjadi “pengajaran”, yang dipersempit lagi dengan “gedung sekolahan”, yang
menjadi semakin sempit ketika penyampaian kurikulumnya hanya lebih banyak
diarahkan pada Ujian Nasional. Akibatnya, output yang dihasilkan dari
sistem pendidikan kita hanyalah manusia-manusia
intelektual yang tidak memiliki kepekaan terhadap realitas sosial.
Paradigma
Pendidikan Kritis
Dalam
diskursus filsafat pendidikan, dikenal pendidikan kritis yang lahir berdasarkan
dua kekuatan pemikiran. Pertama, Filsafat Marxisme yang
memiiki orientasi pada praxis-emansipatoris. Kedua, para pakar
pendidikan yang menyadari arti penting pendidikan utuk pengembangan masyarakat,
seperti Paulo Freire dengan Pendidikan Kaum Tertindas-nya.
Pada
akhirnya, pendidikan kritis dimaknai sebagai sebuah konsepsi pendidikan yang
tidak memisahkan antara teori dan praksis yang tujuan utamanya adalah
pembebasan kaum tertindas agar bisa bertindak secara praksis-emansipatoris.[2]
Dengan kata lain, dalam diskursus pendidikan kritis, pendidikan dimaknai
sebagai sesuatu yang tidak bebas nilai, melainkan memiliki komitmen pada
kelompok masyarakat yang terpinggirkan dan tersubordnasikan. Pendidikan kritis,
biasanya pula bersifat transformatif yang bertujuan untuk mengubah pendidikan
yang awalnya bertujuan untuk melanggengkan status quo, menjadi pendidikan yang
memiliki orientasi terhadap kerja-kerja pembebasan.
Ki
Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia menyatakan bahwa tujuan pendidikan
adalah untuk mencetak manusia merdeka yang mampu memanusiakan manusia atau dengan kata lain output pendidikan harus mampu memunculkan manusia-manusia
yang bisa mengembangkan masyarakatnya. Tokoh kemerdekaan lain, Tan Malaka,
menyatakan bahwa seharusnya, pendidikan berorientsi pada tiga hal, pertama, pemberian
kemampuan untuk bertahan hidup, kedua, mendorong peserta didik agar
memiliki karakter kebangsaan, ketiga, mencetak manusia-manusia yang peka
akan relitas sosial.[3]
Kalau
boleh berbicara lebih lanjut, sistem pendidikan kita hari ini, laksana sebuah
perusahaan yang bertujuan untuk menambah pundi-pundi kapital. Investasinya
adalah peserta didik, investornya adalah negara dan perusahaan-perusahaan yang
membutuhkan tenaga terdidik untuk melanggengkan status quo mereka, sementara
alat produksinya adalah sekolahan-sekolahan, kampus-kampus yang kurikulumnya
sama sekali tidak menyentuh realitas sosial masyarakat.
Ketika
kapitalisasi mulai merambah sektor pendidikan, masyarakat pinggiran, masyarakat
miskin adalah kelompok pertama yang akan terkena imbasnya. Mereka tidak akan
mampu mencapainya dengan sumberdaya apapun yang dimiliki. Mereka akan terlempar
keluar dari garis yang ditentukan oleh kelompok
yang lebih berdaya. Lebih jauh, Agus Salim menyebutkan bahwa masyarakat kelas
menengah akan membentuk subkultur mereka sendiri, seperti sekolah-sekolah
khsusus maupun identitas lain.[4]
Jika
hal ini terjadi maka gap antar kelas masyarakat akan lebih lebar dan
pendidikan kritis menjadi sebuah keniscayaan untuk diberlakukan, mengingat
basis pendidikan kritis adalah keadilan, kesetaraan dan pembebasan. Hal ini
bisa muncul jika paradigma dasar pendidikan kita bukan hanya persoalan
kurikulum, kebijakan, dan persekolahan ataupun sekadar berkutat pada teori,
melainkan juga berada di tengah-tengah realitas sosial.
Menuju
Pendidikan Kritis
Sistem
pendidikan yang menggunakan pendidikan kritis sebaga paradigmanya, secara ideal
harus mampu membangkitkan keadaran kritis peserta didik. Meminjam Istilah Paulo
Freire, kesadaran manusia terbagi dalam tiga tingkatan, pertama, kesadaran
magis, kedua, kesadaran naif, ketiga, kesadaran kritis.[5]
Kesadaran magis adalah ketidakmampuan mengaitkan faktor
satu dengan faktor lain dalam suatu kejadian dan lebih cenderung melihat faktor
di luar manusia. Kesadaran naif memiliki kecenderungan menyalahkan
“aspek individu” dalam melihat akar penyebab suatu masalah. Sementara
kesadarn kritis lebih melihat sistem dan struktur sebagai penyebab utama
masalah di masyarakat.
Pendekatan
struktur yang digunakan dalam kesadaran kritis diharapkan bisa menghindari blaming
of victims dalam mengidentifikasi suatu permasalahan dan lebih memilih langkah
menganalisa suatu
problem untuk menyadari
bahwa ada yang salah dalam struktur dan sistem sosial, politik, ekonomi,
dan budaya dalam suatu permasalahan.
Untuk
menuju pendidikan kritis, menurut Mansour
Fakih terdapat tiga unsur dasar, yakni guru, peserta didik, dan realitas dunia.[6]
Guru dan peserta didik memiliki hubungan pertemanan dengan proses pembelajaran
yang dialogis, bukan top down, sementara realitas dunia adalah medium
pembelajarannya.
Guru dan peserta didik harus menjadi subjek pendidikan yang sadar. Guru juga
harus mampu membangun kesadaran kritis peseta didik untuk membaca kepentingan
ideologis maupun politis yang menyelimuti realitas sosial masyarakat lewat
cara-cara yang dialogis dan tidak menggurui.
Berkaca
dari apa yang disampaikan oleh Mansour Fakih, maka ada beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam upaya pembentukan pendidikan kritis, yakni: pertama, pengetahuan
(materi pembelajaran). Pengetahuan memang bersifat subyektif karena dibatasi
oleh kemampuan indera manusia, maka sebisa mungkin pengetahuan harus diciptakan
sesuai dengan konteks kehidupan peserta didik yang diperoleh lewat realitas
sosial. Pengetahuan yang diajarkan,
tidak boleh membuat peserta didik hanya sebagai objek pengetahuan, namun harus
juga menjadi objek pengetahuan.
Kedua,
metode pembelajaran. Metode
pembelajaran merupakan hal terpenting dalam transfer of knowledge. Dalam
konteks pendidikan kritis dimana peserta didik juga aktif dalam proses
pembelajaran, maka metode yang digunakan adalah dialogis-partisipatoris/empowerment.
Dalam hal ini, peserta didik dan guru sama-sama berupaya memproduksi dan
mengembangkan pengetahuan. Proses berfikir, menyanggah, berdebat untuk
memproduksi pengetahuan menjadi lebih penting dari materi yang disajikan. Hal
ini, sebagai upaya untuk menumbuhkan kemampuan dialektika peserta didik dalam
memahami suatu permasalahan. Metode
ini akan menemui kendala pengetahuan yang tidak akan tersampaikan secara
tuntas.
Ketiga,
hubungan guru dan murid. Pola
konservatif yang berlaku selama ini adalah guru yang menjadi pusat, murid
berada di bawah guru.
Hubungan semacam ini harus diubah, murid harus sejajar dengan guru, keduanya
berada pada posisi sebagai subyek yang sama-sama belajar. Hal ini dilakukan bukan
dalam rangka untuk mengurangi kewibawaan guru, melainkan lebih berorientasi
pada peran guru dalam pengembangan kesadaran kritis peserta didik.
Keempat,
reformasi kebijakan pendidikan
nasional. Selama ini ada ketidakjelasan mengenai penggunaan paradigma dalam
sistem pendidikan kita. Untuk mencapai pendidikan krtis maka harus ada
perombakan dari hulu sampai hilir dalam sistem pendidikan kita. Kebijakan hulu
adalah landasan epistemologis yang digunakan oleh pemangku kebijakan dalam
merumuskan hakikat pendidikan serta hubungan antara pendidikan dengan
bidang-bidang kehidupan lain sebagai basis pendidikan kritis. Sedangan
kebijakan hilir, adalah eksekusi yang mengacu pada landasan epistimologis dalam
kebijakan hulu. Sayangnya, hal ini akan bisa
tercapai jika pemangku kebijakan dalam sisem pendidikan kita bisa terlepas dari
intervensi politik dan tindak korupsi.
Paradigma
pendidikan kritis bisa menjadi solusi alternatif di tengah
proses kapitalisasi yang tengah menyerang sistem pendidikan kita. Sistem
pendidikan yang lebih menguntungkan kelas menengah ke atas adalah penghiatan
terhadap cita-cita proklamasi kemerdekaan yang menginginkan terciptanya
kecerdasan kehidupan bangsa. Dalam kerangka idealitas, paradigma kritis juga
harus mampu membebaskan rakyat kelas bawah dari kungkungan masalah yang
menerpaya demi terciptanya keadilan sosial dan kesejahteraan umum. Wallahu
a’lamu bis showwab.
Ketua
II PMII Cabang Kota Semarang, pegiat di Kelompok Studi Mahasiswa Waisongo
(KSMW)
PS:Artikel ini telah disampaikan dalam MAPABA PMII Komisariat PGRI Sabtu, 10 Maret 2017
[1] Lebih lanjut, baca UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional.
[2] Lebih lanjut, baca Paulo Freire, Pendidikan Kaum tertindas, Jakarta,
LP3ES, 2008, h. 37-38
[3] Leih lanjut, baca Tan Malaka, SI Semarang dan Onderwijs, bisa
diakses di http://www.marxist.org
[4] Lebih lanjut, baca Agus Salim, Indonesia Belajarlah! Membangun
Pendidikan Indonesia, Yogyakarta, Mutiara Wacana, 2007, h. 180
[5] William A Smith, Consientzacao Tujuan Pendidikan Paulo Freire, Yohyakarta,
Pustaka Pelajar, 2008, h. 55-57
[6] Mansour Faqih, et.al, Pendidikan Populer Membangun Pendidikan
Kritis, Yogyakarta, Pustaka pelajar, 2001, h. 40
COMMENTS