Repro: muafaelba/pmiisemarang Sebagai kader PMII, tentu kita memiliki narasi besar tentang keorganisasian maupun kebangsaan berlandaskan...
Repro: muafaelba/pmiisemarang |
Penulis husnudzon bahwa narasi tersebut muncul berdasarkan hasil refleksi
kita atas tujuan PMII. Tentu sahabat-sahabati masih ingat kan apa itu tujuan
PMII? Sebagai pengingat bersama, biarlah penulis kutipkan tujuan PMII
sebagaimana tertulis dalam pasal 4 AD PMII.
“Terbentuknya pribadi Muslim Indonesia yang bertaqwa kepada Allah Swt, berbudi luhur, berilmu, cakap, bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmunya, serta komitmen dalam mempertahankan cita-cita kemerdekaan Indonesia.” Ya, inilah tujuan PMII yang selalu dijadikan dasar oleh pengurus di berbagai tingkatan dalam merumuskan program kerja yang akan dilaksanakan.
Lalu apa yang sudah kita lakukan untuk
mewujudkan narasi besar kita sahabat? Membaca, berdiskusi, menulis, dan bahkan
juga turun jalan untuk mewujudkan narasi tersebut. Apakah salah? Tentu tidak. Mahasiswa
selalu identik dengan nilai intelektualitas dan semangat kepemudaan. Sedangkan
perubahan -ke arah yang lebih baik- umumnya selalu dicitakan oleh para pemuda
(tidak percaya? Silahkan baca ulang sejarah bangsa ini). Keempatnya, merupakan
ruh kita sebagai organisasi mahasiswa, sebagai organisasi pengkaderan yang
harus kita jaga dan laksanakan bersama-sama. Bukankah kita juga mengenal
adagium yang berbunyi, “Cah PMII ora gelem moco, ora seneng diskusi, ora
gelem nulis, ora iso orasi, mending bali omah.”
Namun, sebagai organisasi yang lahir
dari rahim Nahdlatul Ulama’, sebagai organisasi yang berideologikan pancasila,
berhaluan Ahlus Sunnah wal Jam’ah an-Nahdliyyah,
seringkali kita lupa atau mungkin menganggap enteng dengan fakta yang
menunjukkan bahwa kader terbesar kita adalah alumni pesantren, alumni sekolah
ma’arif, alumni madrasah-madrasah aliyah yang kemudian meneruskan pendidikannya
ke perguruan tinggi berbasis keagamaan.
Kita sering lalai pada alumni dari
berbagai SMA Negeri yang –terlanjur- dianggap sebagai SMA unggulan dan
meneruskan ke berbagai perguruan tinggi umum nan favorit yang dikuasai oleh
“kawan-kawan” kita. Sebagian dari mereka, tentu saja akan bergabung dengan
“kawan-kawan” kita yang terlihat lebih islami dari kita dengan berbagai simbol
yang dikenakan. Sementara sebagian yang lain akan acuh perihal keorganisasian. Hanya
sedikit dari mereka yang akan bergabung dengan kita, yakni mereka yang memang
besar dalam kultur Nahdliyyin. Hal ini juga tidak menjadi jaminan bahwa mereka
akan bergabung dengan kita serta memperjuangkan narasi kebangsaan sebagaimana
yang kita lakukan.
Barangkali akan muncul pertanyaan, apa
pentingnya alumni-alumni SMA Negeri yang kemudian melanjutkan pendidikannya ke
perguruan tinggi umum namun tidak bergabung dengan PMII? Bukankah lebih penting
ngopeni kader yang nyata-nyata sudah
bergabung dengan PMII? Mencerdasakan mereka dan kemudian mendistribusikan
mereka ke berbagai sektor sesuai kemampuan yang dimiliki? Dan bukankah lebih
penting lagi memikirkan dan memperjuangkan bangsa yang semakin tak karuan ini? Jika
pertanyaan seperti ini muncul, maka di sinilah letak kelalaian kita. Lalai
karena terlalu sibuk dengan narasi keorganisasian dan kebangsaan yang kita
bangun lewat PMII.
Padahal ruang semacam itu sudah digarap
oleh “kawan-kawan” kita. Mereka memiliki sayap organisasi di SMA-SMA Negeri -meski
tidak secara struktural. Sayap itu bernama Rohis. Lihat, betapa dekatnya nilai
keislaman yang dimiliki oleh Rohis dengan LDK yang menjadi sayap organisasi “kawan-kawan”
kita di kampus. Dalam hal ideologisasi, kita hanya kalah satu langkah
dibandingkan “kawan-kawan” kita. Meski hanya satu langkah, namun kekalahan ini
sudah kita alami selama bertahun-tahun tanpa kita sadari, atau mungkin sadar
namun kita enggan mengakui kekalahan kita.
Jika kita menggarap ruang itu, apakah
ada jaminan bahwa mereka akan bergabung dengan PMII setelah masuk ke perguruan
tinggi? Munculnya pertanyaan semacam ini yang kemudian membuat kita melepaskan
ruang garapan tersebut, menunjukkan betapa kerdilnya cita kita sebagai kader
PMII yang memiliki narasi kebangsaan berlandaskan nilai keislaman ala Ahlus Sunnah wal Jam’ah an-Nahdliyyah.
Membuat mereka bergabung dengan PMII
memang penting. Tapi, jika mereka tidak bergabung dengan PMII, penulis tawarkan
sebuah pertanyaan, “Mana yang lebih penting, antara melihat mereka bergabung
dengan “kawan-kawan” kita yang tentu narasi kebangsaannya jauh berbeda dari apa
yang kita perjuangkan, atau melihat mereka menjadi kelompok netral namun
memiliki narasi kebangsaan berlandaskan nilai keislaman ala Ahlus Sunnah wal Jam’ah an-Nahdliyyah?”
Maka, keinsyafan akan hal tersebut,
seharusnya membuat kita mulai menggarap ruang yang selama ini hanya digarap
oleh kawan-kawan kita. Setidak-tidaknya, jika mereka tidak bergabung dengan
PMII, mereka telah memiliki narasi kebangsaan sebagaimana yang kita yakini dan
perjuangkan. Ini adalah bentuk jihad kebangsaan, menebarkan gagasan kebangsaan
berlandaskan nilai keislaman ala Ahlus Sunnah
wal Jam’ah an-Nahdliyyah. Jika Nahdlatul ‘Ulama menjadi benteng terakhir
NKRI dalam seluruh sektor kehidupan, maka PMII harus membantu NU, menjadi
benteng terkahir bagi NKRI di tingkat kemahasiswaaan.
Untuk mengakhiri tulisan ini, izinkan
penulis bertanya pada sahabat-saahabati, sudahkah agenda ngopi dan diskusinya terlaksana hari ini? Jika
sudah, penulis doakan semoga agenda rutinan tersebut berjalan dengan baik dan
lancar. Jika belum, mari segera pergi ke warung kopi, broadcast pesan kepada sahabat-sahabati yang lain untuk duduk
bersama dan mari diskusikan narasi besar kita tentang keislaman, kebangsaan,
serta strategi untuk mencerdaskan kader-kader kita. Bukankah selama ini kita
memang seperti itu? Terlalu sibuk memikirkan dan memperjuangkan hal-hal besar,
namun seringkali lalai terhadap hal-hal yang kita anggap kecil namun bisa
menghancurkan hal-hal besar yang selalu kita fikirkan dan perjuangkan. Wallahu a’lamu bish showwab,
*Disclaimer:
Penulisan
Ahlus Sunnah wal Jam’ah ditambah
dengan kata an-Nahdliyyah penulis
gunakan untuk mebedakan nilai-nilai Ahlus
Sunnah wal Jamaah yang kita anut dengan nilai-nilai Ahlus Sunnah wal Jamaah yang dianut oleh “kawan-kawan” kita maupun
kelompok lain.
Ketua II PC PMII Kota Semarang
COMMENTS