Ber-PMII adalah tentang bagaimana kita bisa terlibat dalam siklus perubahan sosial (menuju keadaan yang lebih baik)
Repro: muafaelba/pmiisemarang |
Pernahkan sahabat-sahabati pengurus Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) di tingkat Rayon, Komisariat atau Cabang menanyakan pada kader satu per satu: apa orientasinya bergabung dengan PMII? Jawabannya tentu jamak. Orientasinya bergabung; bisa berawal dari dorongan keinginan pribadinya, bisa juga pengaruh dari lingkungan. Mari kita bahas terlebih dahulu orientasi ber-PMII karena lingkungan.
3 Orientasi Jamak ber-PMII
Penulis mencoba mencari kemungkinan-kemungkinan jawaban apa saja orientasi beberapa orang akhirnya memutuskan ber-PMII. Pertama, “nambah pengalaman”. Hal ini bisa terjadi terhadap beberapa mahasiswa yang sebelumnya belum pernah punya pengalaman cukup dalam interaksi sosial (berorganisasi) baik di sekolah maupun masyarakat. Pengalaman berorganisasi seolah menjanjikan suatu proses pendewasaan yang bertahap yang mungkin mereka bisa ikuti ritme perkembangannya. Bagi yang sudah punya pengalaman organisasi, tentu berorganisasi semasa kuliah dengan status “mahasiswa” akan jauh berbeda kualitas-kualitas pengalamannya. Mereka bisa meningkatkan kualitas pribadinya dengan modal yang sudah dimiliki. Biasanya orang seperti ini akan lebih mudah dan cepat bersinar di PMII pada masa paska MAPABA awal, nampak berkliau dan menjanjikan kecemerlangan regenerasi.
Kemungkinan orientasi kedua adalah alasan “menambah teman”. Sebagai organisasi pengkaderan yanng tidak jarang menargetkan perekrutan dalam jumlah besar, ber-PMII berarti menjanjikan suatu hubungan intim dengan lebih banyak teman. Apalagi jika dilihat dari tren MAPABA di Komisariat Walisongo, sekitar 1500-an anggota baru PMII per tahun siap membuat data di kontak ponsel bisa overload! Siapa yang tidak tergiur? Misal, selama Anda punya masalah dan masih berada di sekitar Ngaliyan, hubungi sahabat-sahabati baru kalian, hasilnya bisa diduga, solidaritas paska MAPABA selalu bisa diandalkan sebagai solusi. Mulai dari sahabat-sahabati yang menghapus kelaparan di tengah kantong kering, membawakan botol aquil berisi bensin saat motor mogok karena tangki motor kering, atau sekadar adu coret wajah dalam permainan kartu sampai tengah malam. Sahabat baru juga bisa menghapus kesedihan sementara akaibat jurusan kuliah yang sebenarnya tidak sesuai keinginan kita semula. Ajaib!
Kemungkinan orientasi ketiga adalah “jaringan”. Beberapa orang yang sudah punya wawasan organisasi, tentu akan sangat paham akan hal ini. Lazimnya sebuah organisasi yang punya sistem hirarki dan mencakup skala nasional serta punya kesejarahan panjang, maka PMII juga menjanjikan berbagai jaringan sesuai keinginan kita. Jaringan pengetahuan, jaringan ekonomi, jaringan sosial, jaringan politik sampai jaringan yang remeh temeh tapi vital seperti “percintaan”. Jaringan ini bisa kita dapat kadar kualitasnya dengan berbanding linier dengan tingkat hirarki dimana kita sedang berproses (Rayon, Komisariat, Cabang). Ketiga hal ini tidak jarang sering diobral dalam berbagai model diksi dan redaksi untuk meyakinakan mahasiswa baru untuk mau ber-PMII. Sekurang-kurangnya bagi penulis, jika benar-benar diadakan survei maka tiga orientasi tersebut pasti menempati posisi 3 teratas jawaban sahabat-sahabati.
Orientasi Perubahan Sosial
Penulis tidak ingin menyeret faktor lingkungan tersebut menjadi suatu permasalahan yang ingin didiskusikan dalam tulisan ini. Penulis lebih meninginkan wacana ber-PMII yang muncul dari diri sendiri yang berorientasi pada perubahan sosial. Jadi, sebenarnya ber-PMII adalah tentang bagaimana kita bisa terlibat dalam siklus perubahan sosial (menuju keadaan yang lebih baik). Memang pembedaan ini sangatlah sumir dengan landasan espitimologi yang tipis, tetapi hal ini tetap perlu dikemukakan mengingat bahaya laten dari 3 orientasi yang sudah terlanjur jamak kita temukan tadi.
Bahaya laten dari 3 orientasi yang jamak tadi, jika tidak diikuti dengan orientasi pada perubahan sosial, maka akan menghasilkan kader yang oportunis dan sering terjebak pada euforia yang kering subtansi. Kenapa menjadi oportunis? Karena dengan 3 orientasi tersebut berkecenderungan menciptakan kader yang hanya ingin mendapatkan keuntungan dari PMII tanpa harus punya rasa tanggungjawab moral yang lebih terhadap berbagai permasalahan sosial. Misal, dengan orientasi mempunyai bekal pengalaman hidup yang cukup, seorang kader merasa akan terbantu dalam kehidupannya bermasyarakat kelak. Orientasi banyak teman juga sama, menjanjikan kemudahan hidup yang berasal dari kemungkinan mendapat bantuan dari keragaman latar belakang (jurusan yang beragam) sahabat-sahabati yang dimilikinya. Jaringan pun sama, hanya akan sebatas sampai dimana bisa dipakai untuk menunjang karir pribadinya.
Hal yang perlu ditekankan bukanlah menyalahkan 3 orientasi tersebut, tetapi pemaknaan bahwa 3 orientasi tersebut sebagai sungai yang bercabang dan muara akhirnya adalah samudra “perubahan sosial”. Jadi, salah besar jika pengalaman yang didapat selama ber-PMII hanya dimaknai secara oportunis. Pengalaman tersebut harus dimaknai sebagai ruang waktu pendewasaan dan pengayaan spiritual kita dalam memotret lengkap fenomena sosial. Pengalaman ber-PMII akan membantu kita dalam menentukan sikap politik dan sikap keagamaan kita di tengah masyarakat. Sikap-sikap tersebutlah yang akan membawa kita memungkinkan bisa menyumbang suatu perubahan sosial menuju masyarakat yang lebih baik. Syaratnya satu, selama ber-PMII kita harus benar-benar merekam semua proses kita yang hirarkis tersebut. bisa ditafsirkan merekam dalam ingatan atau merekam dalam bentuk tulisan dalam berbagai media.
Selanjutnya berteman, orientasi ini seharusnya juga didasari kepada media perubahan sosial. Misal, menghadapi berbagai permasalahan sosial yang kompleks, tentu kita perlu menganalisis dengan berbagai pendekatan; agama, sosioloi, ekonomi, politik sampai fakta-fakta sejarah. Semakin banyak teman dengan keragaman latar belakang keilmuan yang dimiliki, memungkinkan kita mempunyai pisau analisis tertajam yang mampu mengupas berbagai masalah sosial yang kompleks sampai pada lapisan terdalamnya. Hal ini juga bukan tanpa syarat, berteman dengan orientasi perubahan sosial artinya memperbanyak diskusi serius di ruang-ruang terbuka yang tidak terikat proker organisasi. Budaya “ngopi” tidak bisa dipertahankan selama budaya tersebut tidak diisi dengan berbagai diskusi yang berisi. Batas bercanda ria dalam pertemanan ini harus mampu membedakan kapan waktu untuk serius berdiskusi. Pertemanan dalam ber-PMII harus mampu membuat kita menanggung hal yang sama terhadap permasalahan sosial yang sedang melanda masyarakat. Pertemanan ber-PMII harus mampu mengajukan berbagai pemecahan sosial yang dijemur berjejer di gantungan kawat halaman rumah masyarakat.
Terakhir, jaringan. Menghadapi musuh yang punya kekuatan lebih kuat secara sistemik (rezim dhalim) mengharuskan kita harus berjejaring dengan lebih banyak elemen di luar PMII. Misal dengan LSM, Organisasi Ekstra Mahasiswa, Organisasi Keagamaan, Tokoh Masyarakat sampai berbagai sektor militer dan kepolisian, kalau perlu berjejaring juga dengan anggota rezim tersisa yang masih punya kebaikan. Semua ini berangkat pada kesadaran bahwa perubahan sosial yang lebih besar membutuhkan elemen yang lebih banyak. Jadi, jika setiap orientasi sahabat-sahabati ber-PMII dimuarakan pada kesadaran orientasi perubahan sosial, maka kita tidak sekadar mencari pengalaman namun hanya menemukan kelelahan. Tidak hanya berteman tetapi sedikit mendapat kemanfaatan. Bahkan tidak sekadar mengantongi berbagai jaringan hanya untuk membuat beberapa pelatihan dan seminar yang seringnya jauh dari cita-cita perubahan sosial. Sudahkan anda “ngopi”? Lalu, dengan siapa saja dan mendiskusikan apa? Jaringan apa yang ingin kalian dekati setelah “ngopi”? Silakan ceritakan pada kami, di blog ini.
Departemen Pengkaderan PC PMII Kota Semarang
COMMENTS