Pe rgerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) adalah organisasi pengkaderan. Tanpa menganggap remeh D epartemen lainnya, kita harus bera...
Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) adalah organisasi pengkaderan. Tanpa
menganggap remeh Departemen
lainnya, kita harus berani mengakui bahwa Departemen
Pengkaderan memang
memegang fungsi penting di PMII. Jika proses perjuangan PMII dalam mewujudkan
tujuannya diibaratkan lomba lari estafet, maka pengkaderan adalah tongkat stik
yang digilir pelari untuk dibawa sampai garis finish. Jika sekencang apapun
seseorang berlari dalam
perlombaan,
tetapi tanpa membawa
tongkat stik, dia tidak bisa dianggap juara. Percuma jika semua program kerja
berjalan sukses,
tetapi pengkaderan jeblok. Karena dosa paling besar berproses di PMII adalah
gagal menciptakan generasi selanjutnya menjadi lebih baik dibandingkan dengan
generasi sekarang. Di sini, penulis ingin
menegaskan jika kapasitas pengurus (di semua tingkatan) dalam memastikan
kelancaran proses kaderisasi merupakan harga mati! Tidak bisa tidak dan tanpa
nego!
Sebelum jauh pembahasannya, penulis
ingin meluruskan beberapa hal terlebih dahulu. Pertama, memang proses
pengkaderan secara formal menjadi tupoksi Departemen Pengkaderan, tetapi mari
kita bawa bacaan pengkaderan ini kepada suatu proses yang lebih luas. Proses
yang mendarah dan mendaging yang tidak bisa kita pisahkan dari sekecil apapun
proses di PMII. Hal ini semacam kontekstualisasi dari keterangan yang
menjelaskan bahwa selama ini PMII memiliki
konsep pengkaderan formal dan non formal. Dikotomi tersebut sebenarnya juga
menarik diperdebatkan (atau didiskusikan), tetapi mungkin itu akan dibahas
dalam tulisan lain. Disini penulis ingin menegaskan pengkaderan seperti apa
yang hendak ditulis.
Definisi
Pengkaderan
Penulis ingin membatasi penjelasan
pengkaderan sebagai “proses spiritual
untuk menciptakan anak rohani yang seideologi dengan kesamaan visi, berbasiskan potensi
kader dengan cara proyek percontohan”. Pertama,
kaderisasi harus dimaknai sebagai sebuah proses spiritual bukan proses
organisasi. Hal tersebut lebih kepada kesadaran yang harus dibangun; jika
perjuangan PMII dan tafsir perjuangan versi kita pribadi tidak mungkin bisa
terwujud tanpa bantuan orang lain (semakin banyak orang yang membantu akan
semakin baik). Apalagi keterbatasan ruang dan waktu yang kita miliki tidak
berbanding lurus dengan luas dan rumitnya permasalahan yang harus PMII hadapi.
Maka melahirkan anak-anak rohani yang seideologi dan sevisi ini bagi penulis
adalah proses penyambungan tongkat stik estafet.
Selanjutnya, berbasiskan potensi kader.
Hal ini lebih kepada landasan filosofis apa yang harus kita pakai dalam
kacamata pengkaderan yang kita laksanakan.
Apakah kita menganggap kader seperti kertas kosong (tabula rasa) atau setiap
kader sudah mempunyai kecenderungan potensinya masing-masing? Jika kita memakai kacamata kertas
kosong, maka wajar jika pola pengkaderannya hanya penjejalan. Kader akan
sepenuhnya diarahkan. Tetapi jika kacamata yang kita gunakan adalah yang kedua,
maka sebenarnya kita tinggal menggali apa potensinya, apa kecenderungannya.
Tetapi sepengetahuan penulis PMII sudah bagus dengan mayoritas mengkombinasikan dua
pola kacamata pengkaderan ini sesuai kebutuhan masing-masing di setiap situasi sosial
yang beragam.
Terakhir, proyek percontohan.
Sebelumnya penulis ingin bertanya, apakah boleh kita memintarkan kader tetapi
kita sendiri bodoh? Seberapa banyak orang yang merasa heroik karena merasa
telah memintarkan beberapa kader meskipun sepenuhnya dirinya sadar bahwa dia tidak bertambah
pintar? Sekilas, jika kita percaya bahwa pengkaderan hanya sekadar kewajiban
memintarkan kader maka hal tersebut tidak salah. Tetapi jika konsep pemaknaan
pengkaderan sebagai proses spiritual, maka hal itu bisa dianggap salah. Banyak
kaidah dalam Islam yang mengajarkan bahwa kita harus bisa melaksanakan kebaikan
yang kita nasihatkan kepada orang lain. Bahkan kebijaksanaan jawa juga
mengajarkan lewat adigiumnya “gajah
dibelangkoni, iso kojah ra iso negelakoni”. Jika pengkaderan sebatas mencerdaskan tanpa disertai beban moral
untuk mencerdaskan diri sendiri, apa bedanya dengan orang yang merasa akan
dijamin masuk surga setelah mengingatkan orantg lain, tetapi dirinya sendiri
tidak melakukannya?
Spiral
Pseudo Heroisme
Lebih jauh, jika proyek percontohan
tidak dijadikan model pengkaderan, maka spiral pseudo heroisme tadi tidak akan
pernah putus. Misal, jika ada pengurus yang menanyakan kepada kader “sudah baca
buku apa hari ini?” Atau,
“kamu harus paham apa itu kapitalisme, kamu harus baca buku ###!” Tetapi ternyata dirinya
sendiri sebenarnya belum membacanya. Hal ini akan dijadikan percontohan kader
untuk melakukan hal yang sama kepada generasi selanjutnya ketika dia kelak
menjadi pengurus. Spiral ini akan berulang. Orang dalam spiral ini tidak akan
merasa terbebani secara moral karena memang tidak menganggap pengkaderan
sebagai sebuah proses spiritual, hanya proses keorganisasian an sich. Jika ada pengkaderan semacam itu pastilah
mempertahankan jumlah tanpa meningkatkan kualitas kader akan menjadi lumrah.
PMII adalah organisasi pengkaderan.
Jantungnya adalah pengkaderan. Setiap pengurus memiliki beban spiritual untuk
menjadi proyek percontohan. Jika begitu sudah wajar jika dilontarkan
pertanyaan, “lantas dengan luas dan rumitnya bidang yang harus diajarkan di
PMII, apakah setiap orang diharuskan bisa menggarap semua?” Jawabannya tentu tidak.
Sekali lagi, keterbatasan semacam ini biasanya disiasati dengan sistem
pengkaderan berlapis. Atau yang akhir-akhir ini lebih dikenal sebagai konsep
mentoring. Mentor sendiri akan dibentuk di setiap tingkatan; mentor Rayon, Komisariat sampai ke
tingkatan Cabang.
Strata mentor inilah yang memungkinkan seorang kader bisa dikader beberapa
mentor, begitu pun sebaliknya. Istilah lainnya
adalah pengkaderan silang. Syaratnya tidak mudah, secara teknis harus diadakan
semacam loka karya untuk memastikan infrastruktur dan suprastruktur yang
memungkinkan proses ini terjadi.
Jika sahabat-sahabati membaca tulisan ini
dengan sungguh-sungguh dan belum menemukan sesuatu yang baru atau bahkan belum
menjawab kerisauan atas pertanyaan seputar proses pengkaderan, hal tersebut
tentu wajar. Pertama,
karena mana mungkin begitu kompleksnya permasalahan bisa dijawab satu tulisan
sederhana. Kedua, keterbatasan ruang gerak penulis juga memungkinkan perbedaan-perbedaan
umum dalam memandang proses pengkaderan ini. Terlepas dari itu, hal yang paling
ingin disampaikan penulis
dalam tulisan ini adalah pesan pertanyaan reflektif. Apakah selama ini kita
sudah menggunakan suatu landasan filosofis dalam pola pengkaderan kita? Apakah
nurani kita tidak terusik jika belum ada jaminan bahwa generasi selanjutnya
belum tentu lebih baik dibanding generasi kita saat ini? Maka, ingatlah sahabat-sahabati, pengkaderan adalah
tentang menyambung harapan dan menebar optimisme bangsa! Ceritanya akan beda
jika kalian ber-PMII hanya karena ingin menambah teman. Kalau sudah seperti itu, saya tidak bisa
berkomentar!
Ketua I PMII Rayon Ushuluddin Komisariat Walisongo masa juang
2013-2014. Sekarang sedang diamanahi sebagai anggota Departemen Pengkaderan di
PMII Kota Semarang masa juang 2016-2017.
COMMENTS