Repro: muafaelba/pmiisemarang Selayaknya seorang Ulama adalah mensyiarkan ajaran agama dan memberikan catatan reflektif sehari-hari...
Repro: muafaelba/pmiisemarang |
Selayaknya seorang Ulama adalah mensyiarkan ajaran agama dan
memberikan catatan reflektif sehari-hari sebagai pembelajaran ummat. Medium
untuk syiar ada beragam bentuk, dan setiap Ulama mempunyai cara dan metodenya
masing-masing. Ada yang piawai berceramah di depan panggung memberikan siraman
rohani dengan ayat-ayat suci, ada yang mengajak ummat melantunkan selawat nabi,
ada juga yang produktif menulis sebagai jalan dakwah. Salah satu Ulama kharismatik
di Indonesia ada KH. Ahmad Musthofa Bisri yang akrab dipanggil Gus Mus. Kiai
asal Rembang ini memiliki banyak medium untuk berdawah: lewat podium, kesenian,
kebudayaan, susatra juga tulisan. Maka selain masyhur sebagai Ulama, Gus Mus
juga populer sebagai seorang penyair, novelis, pelukis, budayawan dan
cendekiawan muslim.
Salah satu media dakwah Gus Mus adalah memalui tulisan, atau dalam
bahasa Gus Mus - catatan-catatan singkat, ringan dan sederhana - tetapi penuh
makna. Dipilihnya menulis catatan-catatan singkat ini bukannya tanpa dasar,
seturut pengakuan Gus Mus, di zaman akhir ini konon manusia sedemikian sibuknya
dengan berbagai urusan. Gus Mus mencontohkan, untuk urusan cari-mencari saja
sudah cukup menyita waktu manusia: mulai mencari makan, papan, posisi, kursi,
kehidupan layak sampai ketenangan hati. Karena alasan itulah orang zaman
sekarang kurang berminat membaca buku khususnya yang tebal dan serius.
Jangankan membaca buku berates-ratus halaman, membaca artikel yang agak panjang
pun ogah-ogahan. Umumnya orang sekarang lebih suka membaca esai atau kolom
singkat yang selesai dibaca dalam tiga-lima menit.
Catatan-catatan singkat, ringan dan sederhana Gus Mus tersebut
kemudian dikumpulkan dalam sebuah buku oleh penerbit Diva Press dengan judul Saleh
Ritual Saleh Sosial: Kualitas Iman, Kualitas Ibadah dan Kualitas Akhlak Sosial.
Sebelumnya tulisan-tulisan dengan beragam tema tersebut telah tersebar di
berbagai media cetak. Namun dalam buku ini tema-tema itu dibagi menjadi lima
bagian; Bercakap dengan Diri, Bermunajat kepada Allah, Bergaul dengan Sesama,
Peran Tokoh Masyarakat dan Dinamika Umat. Meskipun ada banyak tema yang
direfleksikan dan ditulis oleh Pengasuh Pesantren Taman Pelajar Islam ini,
semuanya mengerucut pada satu tujuan; upaya menjadi seorang mukmin yang beramal
saleh, atau dalam bahasa lain kesalehan muttaqi (hamba yang bertakwa)
yang mencakup sekaligus ritual dan sosial.
Dalam tulisan berjudul Kesalehan Ritual dan Sosial, Gus Mus
mengingatkan kita akan hakekat penciptaan dan kehidupan manusia. Gus Mus
menuliskan, “Menyembah dan mengabdi kepada Allah tidak hanya dalam laku ibadah
seperti shalat, puasa dan haji saja. Menyembah dan mengabdi kepada Allah adalah
hidup dan kehidupan kita secara utuh. Atau kalau ingin dibalik dapat
diungkapkan: hidup dan kehidupan kita, para hamba Allah yang mukmin, adalah
penyembahan dan pengabdian kepada belaka kepada-Nya.” Kiranya ini sesuai dengan
firmah Allah: Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar
mereka menyembah-Ku (QS. 51:56).
Manifestasi menyembah dan mengabdi itu berwujud dalam ritual ibadah
seperti shalat (sebagai ikrar penghambaan, penyembahan dan pengabdian), puasa
(sarana khusus menyatakan kefakiran, kedhaifan dan kepatuhan), zakat dan sedekah (sarana membersihkan diri dari
keterikatan dan penghambaan kepada harta yang mati), dan haji (sarana sowan kepada
Allah). Kesemua ibadah itu jika dilakukan dengan sungguh-sungguh akan mampu
mengangkat harkat manusia dalam kehidupan dunia dan akhirat. Namun seturut
pengamatan Gus Mus, nyatanya seringkali kita tidak hanya membatasi penyembahan
dan pengabdian sebatas ritus-ritus khusus seperti itu, malahan mendangkalkan
hanya dalam pengertian fikihnya yang lahiriah saja. Gerak ibadah yang kita
jalankan seringkali kosong tanpa makna, dzikir dan bacaan kita hanya sekadar
terluncur oleh bibir yang biasa bukan dikendalikan oleh makna yang terkandung
di dalamnya. Maka akibatnya, seperti shalat yang seharusnya dapat membentengi
orang yang melaksanakannya dari perbuatan keji dan munkar, justru tidak nampak pengaruh positifnya dalam
kehidupan sehari-hari. Seperti yang terjadi sekarang ini, banyak diberitakan
media para pejabat pemerintahan yang tertangkap korupsi, melakukan perbuatan
asusila atau perilaku kriminal lainnya adalah mereka yang beragama Islam. Atau
dalam kisah sahabat dahulu, diceritakan bahwa yang membunuh Sahabat Ali RA
adalah orang setiap hari puasa, setiap malah tahajud dan hafal Qur’an, yaitu
Abdurrahman bin Muljam.
Lebih buruk lagi, ritus-ritus yang didangkalkan dan
kejadian-kejadian semacam itu menjadi alasan mereka yang belum melakukannya
untuk tidak segera melakukan. Lha wong mereka yang rajin ibadah saja masih
suka korupsi. Bahkan seringkali berdalih, biar ibadah tidak rajin asal
tidak korupsi dan selalu baik kepada orang lain. Menurut analisa Gus Mus, berangkat
dari fenomena ini lah muncul ungkapan dikotomis yang sungguh tidak
menguntungkan bagi kehidupan beragama di kalangan kaum muslim; yaitu ungkapan
kesalehan ritual di satu pihak dan kesalehan sosial di pihak lain. Padahal
sejatinya kesalehan dalam Islam hanya satu: kesalehan muttaqi (hamba
yang bertaqwa).
Dalam buku Saleh Ritual Saleh Sosial ini lah Gus Mus ingin
menampilkan sejatinya seorang mukmin yang saleh. Selain memperbaiki diri dan
kualitas ibadah sehari-hari juga peduli dan tidak abai terhadap kondisi sosial
masyarakat. Lewat catatan-catatan perjalanannya, sahabat karib Gus Dur ini
menampilkan beragam kisah juga peristiwa lengkap dengan hikmah yang terkandung
di dalamnya. Mulai dari soal bagaimana memperbaiki diri yang tercermin dalam
tulisan berjudul Momentum Berdialog dengan Diri Sendiri, Mukmin Kuat, dan
Takwa, juga kisah teladan Nabi Muhammad dan para Ulama Nusantara dalam
Nabi yang Manusia, Isra’ Mi’raj dan Mencintai Al Qur’an.
Adab bergaul dengan sesama saudara dalam tulisan Jangan Membuat
Susah Orang Lain, Menghormati Tamu dan Diskusi Badan, Kritik terhadap
pemimpin pemerintahan, ulama dan tokoh masyarakat dalam Ndalili Kepentingan,
Tujuan berdakwah, Nasihat Pak Gubernur, Peran Seorang Kyai dan Pahlawan. Sampai
pada persoalan politik dan konflik sosial yang tergambarkan dalam tulisan Penyegaran
Kehidupan Politik, Udara Demokrasi, Anggota DPR, Kecelakaan Pembangunan,
Tragedi Nipah dan Memanusiakan Orang Kecil.
Khusus dalam Kecelakaan Pembangunan, Tragedi Nipah dan
Memanusiakan Orang Kecil, dengan model penulisan naratif dan penggunaan
tokoh, Gus Mus menyoroti problem pembangunan di Indonesia. Dalam Kecelakaan
Pembangunan Gus Mus mendedah soal pembangunan yang dilakukan pemerintah
yang tujuannya untuk kepentingan masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan
rakyat agar Negara makmur dalam keadilan dan adil dalam kemakmuran. Nyatanya di
kemudian hari sering terjadi beda pendapat bahkan salah paham dan tidak jarang
lalu menimbulkan semacam “kecelakaan pembangunan” justru ketika berada dalam
pelaksanaan pembangunan. Bila terjadi kecelakaan semacam itu, korbannya selalu
rakyat kecil yang lemah. Gus Mus mencontohkan pelaksanaan pembangunan yang
menyangkut soal tanah, mulai dari penggusuran, pengalihan tanah garapan menjadi
tempat rekreasi, soal ganti rugi dan seterusnya.
Gus Mus mencontohkan kasus Rancamaya Ciamis dan pembangunan waduk
Nipah di Sampang Madura yang menelan korban jiwa. Persis seperti kasus-kasus
yang sedang terjadi sekarang ini. Di Rembang dan Pati ada polemik pembangunanpabrik semen, di Kendal ada kasus kriminalisasi petani karena didakwa menggarap
tanah milik Negara, di Jogja kasus alih fungsi lahan pertanian menjadi bandaradan hotel-hotel, di Jakarta terjadi banyak penggusuran dan reklamasi, di Bali
juga ada kasus reklamasi Teluk Benoa.
Lebih lanjut Gus Mus menuliskan, biasanya dalam kasus semacam itu,
aparat pelaksana selalu benar. Rakyat yang bodoh dan lemah selalu salah. Namun
untuk tidak selalu menyalahkan rakyat, biasanya segera saja dituding “kambing
hitam”. Si Penggerak, Si orang ketiga yang tidak bertanggung jawab.
Kejadian-kejadian semacam itu yang terus berulang, terkesan hal itu memang
sudah termasuk bagian dari antisipasi masalah sejak perencanaan. Hingga
kemudian akan membuat mereka yang ingin berpartisipasi dalam pembangunan dengan
membela rakyat –pihak yang diharapkan sebagai penikmat hasil pembangunan-
menjadi mengkeret, kecut sendiri. Dan yang paling dikhawatirkan adalah
apabila peristiwa-peristiwa seperti yang dicontohkan di atas –dengan segala
sikap pihak berwenang terhadapnya- terus berlangsung, bisa menimbulkan sikap
apatisme dan membunuh rasa ikut bertanggung jawab yang justru tidak
menguntungkan bagi perjalanan pembangunan kita.
Melihat beragam cerita dan kisah penuh hikmah yang disampaikan oleh
Gus Mus kiranya buku ini sangat dianjurkan dibaca untuk semua orang. Agar
nantinya setelah membaca kita akan mampu merefleksikan dan memperbaiki kualitas
iman, ibadah dan akhlak sosial kita sehingga mampu menjadi mukmin yang beramal
saleh (kesalehan muttaqi). []
Informasi Buku:
Judul Buku
|
: Saleh Ritual, Saleh Sosial (Kualitas Iman, Kualitas Ibadah dan
Kualitas Akhlak Sosial)
|
Penulis
|
: KH. Ahmad Musthofa Bisri
|
Penerbit
|
: Diva Press
|
Cetakan
|
: II, Oktober 2 016
|
Tebal
|
: 2014 Halaman
|
Resensator
|
: Ahmad Fahmi Ashshidiq
|
COMMENTS