Pulau-pulau yang ada di bumi ini memang terpisah-pisah, tetapi relasi ekonomi-sosial-politiknya (ekosospol) kian menguat, menyatu dan...
Pulau-pulau
yang ada di bumi ini memang terpisah-pisah, tetapi relasi
ekonomi-sosial-politiknya (ekosospol) kian menguat, menyatu dan semakin tidak
terpisahkan. Perkembangan teknologi membawa hubungan tersebut pada suatu titik
leleh (melting point) yang membuat masing-masing peradaban tidak bisa
mencegah peradaban lain mencampurinya. Seperti bahasa Indonesia yang menjadi
pemersatu bangsa Indonesia yang mempunyai ragam bahasa daerah, maka interaksi
antar peradaban-antar bangsa juga memerlukan hal yang serupa bahasa Indonesia
tadi dalam konteks ekosospol. Maka setelah hak paten, lahirlah sertifikasi. Sertifikasi
dalam corak “positivistik” adalah representasi tolak ukur sesuatu yang biasanya
bersifat kualitatif, kemampuang mengajar, kemampuan pengoperasikan suatu mesin,
pemahaman atas suatu sistem pengetahuan, tolak ukur kelaikan suatu barang
diperjualbelikan, dst.
Pada tahun 1949 ada simposium di
Prancis tentang teknokrasi[1], dimana teknologi
diwacanakan menjadi tiang penyelenggara hajat hidup rakyat. Tetapi, perang
gagasan belum selesai, Herbert Marcuse mengkritik kebudayaan teknokrasi yang
sudah terlanjur terbentuk melalui bukunya, One Dimention Man (1964).
Menurutnya masyarakat Amerika, Eropa dan Uni Soviet telah dikuasai prinsip
irasionalitas teknologis, dimana pengelolaan terhadap alam dan manusia
semestinya tidak dilakukan secara teknokratis. Marcuse mengkritik bagaimana
masyarakat sudah hidup terjebak pada suatu sistem teknologis-totaliter pada
peradaban industri maju (Dawam Raaharjo: 2012). Penulis ingin meletakan
pencarian espitimologi ini untuk mengantarkan pembaca secara obyektif tentang
pengkaderan berbasis pementoran.
Kembali
kepada bahasa pemersatu dunia tadi, maka bentuk hak paten dan sertifikasi
biasanya mengikat suatu daerah dengan batasan wilayah yang jelas, misal Standar
Nasional Indonesia, artinya tolak ukur kelaikan barang atau sistem pelayanan
jasa yang dianggap laik dipakai di Indonesia. Label halal pada makanan,
wilayahnya jelas, bagi konsumen muslim untuk mengetahui suatu produk makanan
atau obat yang diperbolehkan untuk dikonsumsi sesuai hukum islam atau tidak.
Sertfikasi dokter, guru dan beberapa deret pekerjaan profesional lainnya ada
sertifikasinya, bahkan tukang sound sistem. Konon Cold Play gagal manggung ke
Indonesia lantaran promotor gagal menyediakan syarat yang diajukan Cold Play,
yaitu harus ada tukang sound sistem bersertifikat keahlian khusus. Semua diseragamkan
demi menghindari silang komunikasi bahasa global akibat masing-masing keragaman
bahasa setiap bangsa. Ya, jelas kita tahu bahwa suatu peradaban (seperangkat
hasil sistem prilaku ataupun berpikir) sebenarnya tidak bisa diukur secara
pasti dengan selembar kertas sertifikasi. Tapi mau bagaimana lagi, begitulah
dunia bergerak, kemenagan empirisme dengan segala kedigdayaannya.
Sebagian
besar kader PMII tentu sudah tahu jika kuliah tidak melulu harus dikorelasikan
dengan mencari kerja, tetapi banyaknya angka pengangguran di kalangan sarjana bukanlah
hal yang membuat PMII harus menutup mata. Menurut BPS jumlah sarjana yang
menjadi pengangguran terbuka (usia produktif pekerja), tercatat sebanyak 567.235
pada tahun 2016 dan meningkat menjadi 606.939 pada 2017 (data per februari
2017). Padahal rata-rata jumlah sarjana setiap tahun sekitar 250.000. Artinya, jangan
sampai PMII membuat fakta sosial tersebut menjadi semakin parah dengan menjadikan
para alumninya menjadi penyumbang-penambah angka pengangguran tadi.
Selain
mengajari berbagai sistem pengetahuan yang meliputi, pengetahuan agama yang
mencegah seorang kader menjadi teroris-ekstremis dan setia pada Pancasila
sesuai haluan Aswaja, pengetahuan tentang kenegaraan sehingga mampu mendesak
dan atau mewujudkan kehadiran negara dalam berbagai setiap permasalahan sosial yang
dihadapi rakyatnya, sudah seharusnya PMII juga memberikan seperangkat kemampuan
teknis yang bisa dijadikan kader sebagai modal mencari kerja, tentunya tanpa
mengkhianati semangat beragama dan bernegara yang penulis sampaikan sebelumnya.
Disinilah kita dibawa masuk pada sitem pengkaderan berbasis mentor. Sistem ini
bagi penulis adalah tentang bagaimana membuat asah-asih-asuh menjadi sepraktis
mungkin.
Penulis
akan menempatkan asah-asih-asuh dalam definisi sederhana menjadi
mendidik-mencintai-membina. Asah adalah kemampuan pengkaderan yang memberikan
seperangkat ilmu pengetahuan yang bersifat kognitif, seperti mengajarkan
bagiamana mempraktikan Aswaja dalam konteks bernegara sampai praktik
sehari-hari. Tataran praktisnya tentu dalam bentuk penyelenggaran diskusi,
ceramah atau sekolah pemikiran. Kemudian asih, mencintai. Pengkaderan menuntut
kita untuk rela merelakan kenyamanan pribadi demi kemajuan kader, ketulusan
berkorban asal kadernya mampu menjadi lebih baik dibanding dirinya. Secara
teknis, pengkaderan tidak segan ikut patungan mengirimkan kadernya ke berbagai
kegiatan atau pelatihan (syukur-syukur membuatkannya sendiri) agar kadernya
mengalamai peningkatan kualitas. Memang patungan tak melulu soal uang, bisa
juga berupa pengorbanan waktu mengerjakan tugas pribadi yang diperuntukan untuk
mendampingi proses belajar kader.
Jika
sudah memberi pengetahuan dan mencintai kader, maka kita harus membinanya. Kita
harus tegas untuk mengingatkan kader jika ia salah, membangkitkan semangat
perjuangannya saat mulai lesu dan meluruskan orientasi pergerakannya agar tidak
menjadi sekedar kader pragmatis yang oportunis. Secara konseptual landasan
asah-asih-asuh tersebut kemudian menjadi sistem mentor dimana satu pengurus
dibebani mengembangkan potensi kader dengan ketentuan jumlah yang proporsional
sesuai kebutuhan. Bisa satu pengkader (mentor) diamanahi 5 kader misalnya.
Salah satu tujuan sistem ini adalah menyiapkan kader yang mempunyai kemampuan
profesional di bidang tertentu. Dimana hal ini mau tidak mau menyeret PMII pada
fakta bahwa PMII hanya sebatas adaptif terhadap semangat zaman yang sedang
berkembanng.
Sistem
ini memang sudah lama, sebelum penulis menjadi pengurus, penulis sudah curiga
bahwa sistem ini memang dikonsepkan agar alumni PMII tidak nganggur. Maka
pengkaderan ini sangat kental usahanya untuk mendorong seorang kader menguasai
secara profesional di bidang tertentu, pada umumnya PMII Semarang sering merumuskannya
pada tiga bidang utama yaitu, politik, akademik dan wirausaha.
Praktik
teknis sistem tersebut dalam pengkaderan tadi bisa diarahkan sesuai kebutuhan,
misalkan berdasarkan jurusan ataupun Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Tuntutan
sertifikasi bisa ditanggulangi jika pengurus mengaplikasikan sistem ini. Pengacara
yang handal, profesional, bisa dilahirkan dengan sistem mentor berdasarkan
jurusan (mentor dan kader jurusan kuliahnya sama). Jika sistem pengkaderan ini
berhasil, maka jangankan pengacara profesional, PMII juga sekaligus akan
memproduksi pengacara yang akan membela kaum yang dilemahkan (mustad’afin). Karena
sesuai asas asah dia akan diberi sistem pengetahuan yang memungkinkan untuk
melakukan hal tersebut (diajarkan theologi pembebasan misalnya). Begitu juga
dengan profesi lainnya.
Penulis
hanya mau mengingatkan, seperti kritik Marcuse, sistem ini akan menjebak kita
terkontrol tanpa ampun oleh kehidupan yang teknokratis-totaliter. Implikasinya
pada sistem pengkaderan ini adalah melemahnya daya dobrak PMII di ranah sosial,
melemah dan tumpulnya analisis sosial karena bobot pengetahuan teknis yang
dibebankan kepada kader. Inipun jika kita masih percaya bahwa tidak akan ada
gerakan revolusioner tanpa teori revolusioner. Tapi jika ber-PMII hanya untuk
selamat dan tidak menjadi 1 dari 606.939 pengangguran yang sudah terdata, maka
sistem ini bebas kritik.
Tetapi
karena kita tahu dan sadar bahwa kata Itaci Uciha setiap jutsu mempunyai
kelemahan, maka alngkah baiknya sistem ini kita sempurnakan semaksimal mungkin.
Pertama, mentor ini harus berlapis. Setiap pengurus Rayon yang biasanya diisi
mahasiswa semester 3 atau 5, tetntu punya rasa kehausan akan pengembangan diri,
kehebatan mereka bisa terhenti jika dipakasa mengkader (melakukan pementoran)
kepada adik angkatan tanpa menerima hal yang serupa. Maka pengurus rayon perlu
mendapat mentor yang membimbingnya dari tingkat komisariat atau cabang, begitu
seterusnya. Cara pertama dalam memaksimalkan sistem ini secara otomatis akan
memastikan terjaganya keluarga besar PMII secara kolektif dan meningkatnya rasa
kepemilikan bersama para alumninya.
Kedua,
proses peningkatan kualitas keprofesionalitasan baik yang didesain melalui
pengkaderan berbasis UKM atau melalui berbagai pelatihan, haruslah dipandang
secara integratif, tidak boleh parsial. Misalnya, kita tidak boleh menjauhkan
pendidikan politik kepada kader yang menempuh pendidikan kaderisasi di bidang
wirausaha. Sebaliknya, kader yang memilih jalur politik jangan sampai dibiarkan
tanpa modal pengetahuan penguatan ekonomi, apalagi di jalur akademik.
Berdasarkan pijakan espitimologi inilah penulis mengusulkan untuk setiap kader
dalam Pelatihan Kader Lanjut (PKL) menyentuh tiga ranah ini sekaligus, tidak
parsial seperti PKL periode sebelumnya.
Terakhir,
kita harus sadar bahwa kondisi sosial selalu berubah begitu cepat. Pada konteks
visioner, pengkaderan berbasis pementoran ini bisa dijadikan strategi juang
diaspora PMII unutk memenuhi semua lubang posisi yang sekarang diisi
tokoh-tokoh neo liberal, tokoh sekuler yang selalu memandang sebelah mata
agama, tokoh-tokoh yang mengaku demokrat tapi diktaktor. Bagaimana ini bisa
dikerjakan? Tanyakan orientasi ber-PMII kita, pertanyakan lagi filosofi
pengkaderan kita, lalu sentuhkan kader pada sastra dan tanamkan imajinasi yang
baik0baik serta ajari mereka tentang optimisme.
Departemen Pendidikan dan Pengkaderan PMII Kota Semarang 2016-2017
[1]suatu gerakan sosial yang percaya bahwa kehidupan akan lebih baik
jika masyarakat diatur secara ilmiah oleh para insinyur yang mempunyai keahlian
khusus dan pengetahuan teknis, dipopulerkan oleh Howard Scott, sosiolog Amerika
yang bersinar paska Great Depression).
COMMENTS