Repro: muafaelba/pmiisemarang Sejarah kemerdekaan Indonesia yang begitu revolusioner, penuh pengorbanan dan berdarah-darah, sedikit-bany...
Repro: muafaelba/pmiisemarang |
Saat itu, sebagai anggota yang baru saja saja lulus MAPABA, penulis begitu bersemangat membaca buku-buku tentang gerakan perlawanan dan teori-teorinya, terlebih buku-buku yang membincang heroisme gerakan mahasiswa. Sejak itu pula, penulis percaya bahwa kiri itu identik dengan gerakan perlawanan, anti-penindasan, menghendaki masyarakat yang adil dan makmur, menentang penghisapan manusia atas manusia -exploitation de l’homme par l’homme- sebagaimana pernah disampaikan Bung Karno. Sementara kanan adalah sebaliknya, pro status quo, pro penindasan, pro eksploitasi, sehingga harus dilawan. Entah dengan kader-kader yang lain.
Barangkali, apa yang penulis rasakan merupakan akibat dari liberasi pemikiran yang kemudian memunculkan Paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiran dan Paradigma Kritis Transformatif dalam tubuh PMII pada dekade ‘90an. Menurut cerita, saat itu kebanyakan kader-kader PMII begitu menggandrungi teori-teori kritis Madzhab Frankfurt, teologi pembebasan ala Ali Syariati, Asghar Ali, Hassan Hanafi, dan bahkan mengelaborasi konsep keadilan (al-adalah), toleransi (tasamuh), moderat (tawassuth) dan keseimbangan (tawazzun) dengan konsep pemikiran politik barat, seperti teori-teori Marx, Talcott Parsons dan lain sebagainya. Pola pikir yang memang sesuai semangat zaman, untuk melawan kesewenang-wenangan rezim dikator Orde Baru yang dipimpin Soeharto.
Mari kita lihat rumusan spektrum ideologi yang pernah dikemukakan oleh Sahabat Munandar Nugraha, seorang dosen FISIP di UNAS yang kiranya menarik untuk membincang posisi -kader- PMII Kota Semarang berdasar rumusan tersebut. Kiri mentok adalah komunisme, kiri tengah adalah sosdem, tengah adalah pancasila, kanan tengah adalah demokrasi/liberalisme, kanan mentok adalah ekstrimis kapitalisme, fasisme, dan fundamentalis-radikalisme. Kira-kira begitu rumusannya.
Jika melihat rumusan spektrum ideologi diatas, maka kita bisa melihat dengan sangat jelas bahwa PMII berada tepat di tengah-tengah, bukan kiri tengah maupun kanan tengah, apalagi kiri mentok dan kanan mentok. Jika tidak percaya silahkan buka ADRT PMII. Dalam pasal 2 disebutkan bahwa PMII berasaskan Pancasila yang telah disebutkan dengan jelas sila per sila nya dalam alenia pertama Pembukaan ADRT PMII. Lihat, betapa pancasilais-nya PMII sebagai organisasi.
Patut disayangkan jika hari ini, masih ada kader-kader PMII yang petentang-petenteng, ngalor-ngidul sambil berkata bahwa dirinya adalah marxis, sok kiri -entah itu kiri mentok atau kiri tengah, namun melupakan narasi besar dibalik sejarah berdirinya PMII. Dan lebih disayangkan lagi, jika mereka yang mendaku-daku dirinya sebagai marxis, sebenarnya, belum pernah sama sekali membuka lembar demi lembar Das Kapital-nya Marx. Mengenaskan bukan? Maka, ini harus segera dibenahi.
Jika perlawanan identik dengan kiri, maka apakah ada yang salah dengan gerakan perlawanan yang selama ini coba dibangun oleh -kader- PMII Kota Semarang? Tidak, tidak ada yang salah dalam hal itu, bahkan itu adalah perkara luar biasa. Sebab, -kader- PMII Kota Semarang melawan untuk menegakkan keadilan, melawan dzulm, sebagimana dicontohkan oleh para Nabi ketika melawan mustakbirin untuk membela mustadh’afin. Bagi penulis, yang salah adalah mereka yang hanya berdiam diri dan tidak melakukan apa-apa melihat perlawanan itu dilakukan -meski dengan tulisan-, dan justru menyalahkan kita yang sedang melawan. Penulis bersama sahabat-sahabat yang lain juga dengan senang hati melakukan perlawanan tersebut dalam berbagai kesempatan.
Namun yang perlu digaris bawahi adalah tidak perlu mendaku diri sebagai seorang marxis -sebagai orang kiri- untuk melakukan perlawanan. Kita punya akar ideologi sendiri, Pancasila. Kita punya haluan sendiri dalam melakukan perlawanan, Ahlussunnah wal jamaah dengan keempat prinsipnya: keadilan (al-adalah), toleransi (tasamuh), moderat (tawassuth) dan keseimbangan (tawazzun). Nabi Muhammad SAW, telah mencontohkan kepada kita tentang perlawanan terhadap kedzaliman ketika mendakwahkan Laa ilaaha illa Allah yang berarti pula penolakan untuk mengakui otoritas kelompok yang berkuasa dan struktur sosial pada masanya dan kemudian membentuk mayarakat egaliter di Madinah, ribuan tahun sebelum Karl Marx mencetuskan idenya tentang masyarakat tanpa kelas. Kita hanya perlu mengelaborasinya lebih jauh lagi.
Sebelum tulisan ini diakhiri, penulis ingin menegaskan bahwa tulisan ini bukan berarti larangan bagi kader-kader PMII untuk mempelajari pemikiran-pemikiran kiri. Penulis tidak senaif itu. Ilmu pengetahuan, dari manapun asalnya harus tetap diterima dan dipelajari sebagai pengetahuan, tidak boleh ada otoritas apapun yang melarangnya, termasuk negara. Wallahu a’lamu bis showwab.
Discaimer: Penulis yakin akan ada satu-dua sahabat yang tidak sepakat dengan tulisan yang tidak bermutu ini. Namun penulis tetap percaya pada prinsip yang penulis pegang bahwa tulian harus dihadapi dengan tulisan, baru diskusi bisa dilakukan. Sehingga, penulis tidak akan melayani bentuk keresahan hati sahabat-sahabat sebelum diuangkan dalam tulisan.
Pegiat Sejarah dan Ketua II PC PMII Kota Semarang
COMMENTS